Oleh: Zakariya al-Bantany
Buta yang terburuk adalah buta politik,
dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa
politik.
Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga
kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua
tergantung pada keputusan politik.
Orang buta politik begitu bodoh sehingga
ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik.
Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan
politiknya lahir semua pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk, rusaknya
perusahaan nasional dan multinasional.” (Bertolt Bracht, penyair Jerman)
[Sumber: dakwatuna.com, 27/01/2014]
Benar sekali apa yang dikatakan oleh
Bertolt Bracht, penyair Jerman tersebut. Di sinilah pentingnya melek politik.
Karena kita sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini, tidak bisa lepas dari
yang namanya politik, mulai dari urusan kamar mandi hingga urusan dapur, bahkan
hingga urusan negara.
Filsuf Yunani yaitu Socrates dan
Aristoteles pun pernah menyatakan, bahwa manusia adalah zoon politicon,
artinya manusia adalah makhluk yang berpolitik. Apa yang dinyatakan Socrates
dan juga Aristoteles itu memang tidaklah berlebihan, karena dengan segenap
potensi hidupnya, manusia mampu untuk mengatur dan mengurusi dirinya,
komunitasnya dan lingkungannya.
Namun, tidak sedikit di antara kita yang
malah tidak memahami karakteristik dasar yang sejatinya dimiliki setiap manusia
sebagai "makhluk yang berpolitik" tersebut. Manusia kekinian seolah
kehilangan jati dirinya setelah abai dengan "urusan dan aturan" yang
melingkupi hidupnya.
Kenyataannya, kita cenderung apatis dan
skeptis dalam memandang politik dengan anggapan politik itu adalah sesuatu yang
amat berat dan sangat memusingkan kepala.
Kita pun cenderung pula apolitis dalam
menyikapi setiap persoalan hajat hidup orang banyak atau masyarakat, karena
sudah terlanjur alergi berat atau phobia akut membincangkan soal pengurusan dan
pengaturan tersebut.
Bahkan parahnya kita pun menganggap
politik itu kotor dan najis. Sehingga, kita memiliki persepsi yang salah
terhadap politik dan berasumsi bila politik dicampur dengan agama atau agama
dicampur dengan politik hanya akan merusak agama dan hanya membawa petaka bagi
umat manusia.
Itu semua dikarenakan persepsi yang salah
kaprah dalam memaknai politik hingga beranggapan politik itu kotor dan najis,
sedangkan agama itu adalah suci. Sehingga semakin parah dengan berupaya keras
memisahkan agama dari politik dan politik dari agama. Ini akibat terkooptasi
oleh paham kufur nan sesat sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin
'anil hayah) dan berujung pemisahan agama dari negara (fashluddin 'anid
daulah).
Di sinilah pentingnya pula memahami makna
politik baik secara bahasa maupun secara istilah dan tentunya pula menurut
Islam sehingga kita memiliki pemahaman yang komprehensif perihal politik
tersebut dan kita pun semakin melek politik.
Pengertian
Politik:
1. Politik Secara Bahasa
Secara bahasa, kata politik merupakan
hasil serapan dari bahasa Inggris, yaitu politic. Kata padanan lainnya,
yaitu policy.
Dalam bahasa Arab diistilahkan dengan
kata siyasah (سياسة). Apa realitas (fakta) yang dimaksud?
Dalam bahasa Inggris, politic artinya 'mengatur'. Dalam bahasa Arab, siyasah
(سياسة) berasal dari kata sasa-yasusu-siyasatan
(ساس-يسوس-سياسة) artinya 'mengurus'. Dalam bahasa
Indonesia, kata yang sejalan dengan makna politik adalah 'urus', 'mengurus'.
Masih secara bahasa (etimologis), fakta
menunjukkan bahwa kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata polis
yang dapat berarti 'kota' atau 'negara kota'. Dari kata polis ini
diturunkan kata-kata lain seperti polites (warga negara) dan politikos
nama sifat yang berarti 'kewarganegaraan' (civic), dan politike
techne untuk kemahiran politik serta politike episteme untuk
ilmu politik. Orang Romawi mengambil alih kata Yunani tersebut dan menamakan
pengetahuan tentang negara (pemerintah) dengan ars politica, artinya
'kemahiran (kunst) tentang masalah kenegaraan'.
Dalam Wikipedia (Ensiklopedia digital/ wikipedia.com),
dikemukakan hal yang sama:
The word "Politics" is derived
from the Greek word for city state, "Polis". Politics is most often
studied in relation to the administration of governments (Kata "politik" berasal dari
kata Yunani untuk negara kota, "polis". Politik yang paling
sering dipahami dalam kaitannya dengan administrasi/ pengaturan pemerintahan).
Jadi, fakta politik menurut bahasa adalah
mengatur atau mengurus.
[MD. Riyan, Political Quotient,
hal.21]
2. Politik Secara Istilah
Menurut Prof. Dr. Miriam Budiardjo, dalam
buku 'Pengantar Ilmu Politik', istilah politik (politics) adalah
berbagai kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Apa saja kegiatan dalam sistem politik?
Kegiatan sistem politik dimulai dari
pengambilan keputusan (decision making) oleh organisasi negara (state)
melalui pemerintah (government) mengenai apakah yang menjadi tujuan
sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan
skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan
itu, perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies)
yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)
dari sumber-sumber dan sumberdaya (resources) yang ada.
Untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan
kewenangan (authority) yang akan dipakai untuk membina kerjasama maupun
untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses tersebut.
Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat meyakinkan (persuasion) dan
jika perlu, bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan,
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent).
Jadi, pengertian pokok politik meliputi
kata kunci keberadaan negara (state), kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy,
beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Politik secara istilah menurut
Al-'Allamah asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani Rahimahullah (Syaikhul Azhar
dan Pendiri serta Amir Hizbut Tahrir Pertama) dalam bukunya 'An-Nidzhamu
Hukmi fil Islam'. Beliau menjelaskan pengertian politik (siyasah)
adalah pengaturan urusan masyarakat (rakyat/ publik/ umat/ bangsa, baik di
dalam maupun di luar negeri dengan hukum-hukum tertentu dan dilakukan secara
praktis oleh penguasa/ pemerintah, dikontrol dan diawasi oleh masyarakat
(rakyat/ publik/ umat/ warga).
Menurut Imam An-Nabhani tersebut,
pengertian pokok politik meliputi konsep penguasa (hukam, sulthan);
pengaturan urusan rakyat (ri'ayah); penerapan aturan, baik di dalam dan
di luar negeri (tathbiq ahkam); serta koreksi dan kontrol rakyat (muhasabah).
Menurut Wikipedia (www.wikipedia.com), politik secara istilah adalah
proses pembuatan keputusan dalam kelompok. Meskipun umumnya istilah ini
diterapkan pada perilaku dalam pemerintahan, politik dapat pula dicermati dalam
semua interaksi-interaksi kelompok, termasuk dalam institusi agama, akademik,
dan perusahaan.
Jadi kesimpulannya, fakta pengertian
politik secara istilah (terminologi) adalah pemeliharaan atau pengaturan urusan
umat, publik, masyarakat, atau rakyat, baik di dalam maupun di luar negeri.
Proses aktivitas dilakukan oleh negara atau pemerintahan secara praktis dengan
mengambil keputusan (baik memerintah atau melarang) untuk menjalankan aturan
atau cita-cita tertentu dan bersama dengan umat, rakyat, dan stakeholder
mengawasi atas apa yang dilakukannya, melalui aktivitas koreksi dan kontrol.
Inilah realitas politik dan pengertian
politik yang hakiki. Politik itu aktivitas yang bertujuan mengatur dan
memelihara urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri. Penguasa dan
rakyat adalah pemain utama. Perbedaan yang terjadi adalah konsep politik
sehingga ada penguasa yang jahat dan ada penguasa yang adil karena pengurusan
yang dilakukan kepada rakyatnya berbeda satu sama lain.
Warna atau konsep politik suatu
masyarakat bisa (ibarat) merah, hijau, kuning, atau putih, serta hitam.
Bergantung pada persepsi atau pemahaman para pelakunya, baik penguasa maupun
rakyatnya tentang cita-cita, pandangan hidup, atau aturan hukum-hukum. Artinya,
kalau ada perbedaan di antara keduanya, warna atau konsep politik itu akan
berbeda.
[MD. Riyan, Political Quotient,
hal. 22-26]
Pentingnya
Politik
Politik memiliki peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia, yaitu:
1. Politik adalah fitrah kemanusiaan,
karena manusia itu adalah makhluk yang berpolitik (zoon politicon).
Artinya secara alamiah manusia mustahil hidup dengan baik tanpa melakukan
pengaturan atau pengurusan ataupun pemeliharaan kehidupannya baik yang
menyangkut nalurinya (gharizah) dan kebutuhan pokoknya (hajatul 'udhwiyah)
mulai dari urusan pribadi, keluarga, masyarakat hingga urusan negara.
2. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak
bisa hidup sendiri. Karena itu manusia membutuhkan manusia yang lainnya dalam
melangsungkan kehidupannya di muka bumi.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya
(hajatul 'udhawiyah) seperti sandang, papan dan pangan, juga dalam
memenuhi nalurinya (gharizah) baik naluri mensucikan sesuatu atau naluri
beragama (gharizatut tadayyun), naluri mempertahankan hidup (gharizatul
baqa') maupun naluri melanjutkan keturunan atau naluri seksual (gharizatun
na'u), maka menjadi sebuah keniscayaan manusia pasti akan berinteraksi
dengan sesamanya. Interaksinya tersebut akan membentuk sebuah komunitas atau
masyarakat.
Masyarakat sendiri adalah kumpulan
individu yang memiliki pemikiran, perasaan dan aturan tertentu sehingga mereka
mampu memenuhi kebutuhan dan tujuan keberadaannya. Untuk itu harus ada yang
memimpin dan yang dipimpin serta harus ada proses pengaturan. Inilah politik,
kita bisa melihat di masyarakat manapun, dalam tingkat peradaban apapun,
pengaturan ini pasti terjadi. Ini semata-mata karena masyarakat ingin hidup
teratur.
Kita bisa melihat suku Dani dan Asmat di
Papua, suku Anak Dalam di Jambi, suku Badui di Banten, suku Dayak di
Kalimantan, masyarakat suku Quraisy di Makkah, masyarakat Madinah zaman
Rasulullah ﷺ, masyarakat Inca dan Aztec di Peru, masyarakat Jawa zaman
Kerajaan Majapahit Hayam Wuruk dan Gajahmada, dan masyarakat Indonesia hari ini
serta juga masyarakat Eropa, Afrika Amerika dan Asia hari ini. Semua masyarakat
itu mengatur urusan bersama dengan cara rakyat mengangkat pemimpin dan
menjalankan pengaturan dengan hukum dan cara hidup tertentu. Kita tidak melihat
besar atau kecinya jumlah anggota masyarakat.
3. Politik adalah sebuah kekuasaan dalam
menentukan dan pengaturan nasib hajat hidup orang banyak, dan penentu arah
tujuan sebuah negara dan perubahan.
Seperti:
Kesepakatan penentuan Dasar Negara,
Undang-Undang Dasar dan cita-cita Negara, serta dilegislasikan dan
diberlakukannya berbagai macam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.
Dan juga berbagai macam kebijakan
pemerintah yang sangat menentukan keberlangsungan hidup negara dan
rakyatnya.
Seperti: Kebijakan politik ekonomi dalam
negeri dan luar negeri pemerintah yang sangat bercorak ideologi
demokrasi-kapitalisme-sekuler yang kini sangat neoliberal hingga berakibat
demokrasi makin kebablasan, separatisme Papua naik, hutang negara naik, pasar
bebas naik, aset negara dijual ke asing naik, SDA diberikan ke asing naik,
harga BBM naik, Tarif Dasar Listrik naik (TDL), harga cabe naik, harga sembako
naik, tarif STNK dan BPKB naik, serbuan tenaga kerja asing baik legal dan
ilegal naik.
Bahkan penistaan agama naik,
ketidakadilan naik, hukum tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah pun naik,
terdakwa penistaan agama masih tetap diaktifkan sebagai kepala daerah yang
menjadi bukti pemerintah demi bela terdakwa penista agama rela melanggar hukum
makin naik, pengekangan kebebasan berpendapat pun naik, hoax teriak hoax naik,
kriminalisasi ajaran Islam, Ulama dan umat Islam pun naik, beban hidup rakyat
makin naik hingga rakyat dalam situasi antara “hidup dan mati” pun makin naik,
dan lain-lain.
Yang turun hanyalah iman, akhlak, harga
diri, kejujuran, keamanahan, keadilan dan kesejahteraan rakyat, serta
kedaulatan.
4. Silih bergantinya peradaban umat manusia
dipengaruhi oleh ideologi tertentu (seperti ideologi jahiliyah kapitalisme
sekulerisme, sosialisme komunisme, dan Islam), konsepsi politik dan
kebijakan-kebijakan politik dunia serta konstelasi geopolitik strategis dunia.
Seperti: Bangkit dan runtuhnya peradaban Yunani kuno, Romawi, Persia, Mesir
kuno, Cina, India, Khilafah Islam (Islam), Mongol, Uni Soviet (Sosialisme
Komunisme), AS (Kapitalisme), dan lain-lain.
5. Politik adalah fannul mumkinaat
yaitu sebuah seni kemungkinan. Di dalam politik semuanya serba mungkin.
Seperti:
Perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh
Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara Daulah Islam pertama yang berpusat di
Madinah dengan kafir Quraisy Makkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, tahun
ke-6 Hijriyah), yang berujung mengantarkan kemenangan telak Islam dengan
ditaklukkannya benteng yahudi Khaibar sekitar 150km dari kota Madinah pada
tahun 629 M (Rabiul Awal tahun ke-7 Hijriah) dan penaklukkan kota Makkah pada
tahun 630 M tepatnya pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah) sehingga
Jazirah Arab pun sepenuhnya berhasil dikuasai oleh Daulah Islam.
Padahal banyak Sahabat sebelumnya kecewa
dengan keputusan Rasulullah ﷺ yang melakukan perjanjian Hudaibiyah
dengan kafir Quraisy, karena mereka berasumsi butir-butir isi perjanjian
Hudaibiyah tersebut banyak merugikan Islam dan merendahkan Islam serta hanya
menguntungkan kafir Quraisy. Tapi Rasulullah ﷺ tetap konsisten dan
beliau menasehati serta memotivasi para Sahabatnya, bahwa beliau adalah utusan
Allah dan beliau tidak akan pernah menyalahi perintah Allah, serta beliau pun
meyakinkan kaum Muslimin khususnya para Sahabatnya bahwasanya Allah akan
memenangkan Islam, sehingga hati kaum Muslimin pun menjadi tenang dan mereka
pun akhirnya semakin yakin dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989
menjadi simbol kuat berakhirnya Perang Dingin, padahal sebelumnya berkembang
mitos di tengah masyarakat Jerman bahwa tembok berlin yang memisahkan Jerman
Barat dan Timur tidak akan pernah bisa diruntuhkan.
Ditaklukkannya Konstatinopel Romawi Timur
pada 6 April – 29 Mei 1453 Masehi oleh kaum Muslimin yang dipimpin Sultan
Muhammad Al-Fatih yang berusia 21 tahun, setelah 800 tahun penantian dan
dilakukannya usaha penaklukkan oleh Khilafah Islam sejak Rasulullah ﷺ menubuwwahkan
bahwa Konstatinopel akan jatuh di tangan umat Islam.
Jatuhnya Konstatinopel menandai kekalahan
telak dan jatuhnya adidaya imperium Romawi Timur di bawah kekuasaan Islam
sekaligus menjadi pintu gerbang Islam berhasil menguasai 2/3 dunia khususnya
daratan Eropa, padahal selama lebih dari 1000 tahun benteng kokoh Konstatinopel
tidak bisa ditaklukkan oleh siapapun dari adidaya-adidaya sebelumnya.
Terjadinya Arab Spring atau Revolusi Arab
pada 17 Desember 2010 – pertengahan 2012 yang menjalar dari:
-Tunisia: Presiden Tunisia Ben Ali dan
pemerintahannya terguling;
-Mesir: Presiden Mesir Hosni Mubarak dan
pemerintahannya terguling;
-Yaman: Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh
terguling dan kekuasaan diserahkan kepada sebuah pemerintahan persatuan nasional;
-Libya: Pemimpin Libya Muammar al-Qaddafi
tewas setelah sebuah perang saudara yang menghadirkan intervensi militer asing.
Pemerintahannya digulingkan;
-Suriah: Presiden Bashar al-Assad yang
sangat diktator menghadapi pemberontakan sipil yang damai dengan membantai dan
memerangi masyarakat secara terbuka dan akhirnya perang terus terjadi hingga
sekarang memakan korban 100.000 ribu lebih dari rakyatnya sendiri dan perang
Suriah pun hingga kini belum berakhir.
-Bahrain: Pemberontakan sipil terhadap
pemerintah ditumpas oleh otoritas dan intervensi yang dipimpin Saudi;
-Kuwait, Lebanon, dan Oman: Perubahan
pemerintahan diterapkan dalam menanggapi protes;
-Maroko dan Yordania: Reformasi
konstitusional diterapkan dalam menanggapi protes;
-Hingga ke Arab Saudi, Sudan, Mauritania,
dan negara-negara Arab lainnya: Protes;
Awalnya Revolusi Arab tersebut di luar
pengetahuan dan di luar kontrol AS dan sekutu Baratnya. Tetapi seiring
berjalannya waktu sebagian besar Revolusi Arab tersebut berhasil dibajak oleh
AS beserta koalisi baratnya.
Kecuali Revolusi Syam di Suriah yang
hingga kini belum berhasil dibajak oleh AS dan sekutu baratnya, karena itulah
AS dan sekutu baratnya melalui proxy atau bonekanya yaitu koalisi Syiah
dan Rusia, serta pengkhianatan penguasa Turki dan penguasa Saudi yang hingga
kini terus-menerus membumi-hanguskan bumi Syam Suriah, dan yang terparah tahun
lalu (tahun 2016) adalah Aleppo yang menjadi lautan darah dan menjadi neraka
yang menewaskan ribuan lebih rakyat sipil hanya karena mereka menginginkan
Khilafah Islam dan tidak menginginkan solusi dari AS dan sekutu jahatnya, dan
lain-lain.
6. Politik adalah hakikat kebenaran di balik
tulisan atau dinding atau fakta (realitas). Politik bukanlah tulisannya atau
dinding atau fakta (realitas) tersebut.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah
menyatakan:
“Banyak orang membaca tetapi tidak berpikir
(tentang apa yang dibacanya). Banyak pula yang membaca dan berpikir, namun
proses berpikirnya tidak lurus dan tidak dapat menjangkau pemikiran-pemikiran
yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat (yang dibaca).”
Dengan kata lain, bacaan (teks) hanya
sekedar ungkapan pemikiran, dan bukan pemikiran itu sendiri. Oleh karena itu,
orang justru keliru jika menyangka bahwa masyarakat (termasuk Indonesia) dapat
dibangkitkan hanya dengan diajari membaca dan menulis.
Bacaan tidak dapat memberikan apapun bagi
proses berpikir. Termasuk juga tidak dapat digunakan untuk membangkitkan
dorongan apapun untuk berpikir. Sebab, proses berpikir diwujudkan melalui fakta
terindera dan informasi awal yang berkaitan dengannya.
Bacaan bukanlah fakta terindera, bukan
pula informasi awal. Bacaan (teks) hanyalah ekspresi pemikiran atau sekedar
“wadah” yang digunakan untuk menampung pemikiran. Jadi, bukan pemikiran itu
sendiri.
Jika seorang pembaca dapat memahami
dengan baik maksud berbagai ungkapan tentang pemikiran dalam teks sehingga dia
dapat menangkap pemikiran-pemikirannya, itu karena pemahamannya terhadap teks
cukup baik, bukan karena semata-mata membaca. Jika pembaca tersebut tidak
memahami teks dengan baik, tidak akan ada pemikiran apapun yang didapat, sekalipun
dia telah membacanya berjam-jam.
Jadi, berpikir terhadap teks-teks
(tulisan) itu penting dipahami, agar dapat memahami teks dengan baik. Termasuk
teks (tulisan) tentang politik.
Teks politik itu ada dua jenis, yaitu
teks yang terdapat dalam literatur-literatur politik dan teks yang terdapat
dalam berita-berita politik. Dari membaca teks-teks politik itulah berpikir
politis dimulai.
Jika teks politik itu terdapat dalam
literatur ilmu politik (misalnya perbandingan sistem pemerintahan), maka proses
berpikirnya hampir sama dengan proses memahami teks-teks tentang pemikiran.
Contoh: untuk memahami teks ilmu politik tentang pemisahan kekuasaan, maka kita
tidak bisa mencukupkan diri membuat gambaran tentang bahaya sentralisasi
kekuasaan, (misalnya) sentralisasi kekuasaan pada masa Orde Baru. Akan tetapi,
kita harus membayangkan sentralisasi kekuasaan di negara-negara Eropa,
khususnya Prancis. Sebab, Montesquieu-lah yang merupakan tokoh pemikir
tentang pemisah kekuasaan pemerintahan.
Lalu, jika kita membaca teks-teks berita
politik, maka (menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani), hal ini adalah berpikir
yang paling sulit. Sebab, ini adalah aktivitas berpikir atas segala peristiwa,
di samping melibatkan semua jenis aktivitas berpikir, mulai dari berpikir
terhadap teks-teks pemikiran, teks-teks hukum, dan sebagainya. Selain itu, juga
karena tidak adanya kaidah atau patokan yang dapat digunakan di dalamnya.
Selama seorang pemikir atau politisi jarang mengamati berbagai berita politik,
teks ilmu politik, dan jarang beraktivitas politik, kurang cermat dalam
memahami teks-teks, maka akan sulit baginya untuk berpikir politis. Jadi, hal
ini memang sangat sulit.
Karena itu, orang yang ingin pintar
berpikir politis, ia harus selalu mengikuti berbagai macam berita dan peristiwa
politik dari berbagai media massa seperti koran, radio, televisi, atau
internet; bukan membaca teks-teks pemikiran politik.
Memang, membaca teks-teks pemikiran
politik akan membantu seseorang berpikir politis dalam memahami berita politik.
Tetapi, ini bukan keharusan. Banyak memahami teks-teks pemikiran politik hanya
akan menjadikan seseorang menguasai pemikiran politik. Orang seperti ini lebih
layak menjadi dosen ilmu politik daripada seorang politisi.
[sumber: Dakwah Media, Jumat, 16 Agustus
2013]
7. Politik adalah akar segala masalah
problematika umat dan politik adalah tabiat perilaku para Nabi.
Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ
bersabda:
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ
كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ
لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا
تَأْمُرُنَا قَالَ
فُوا بِبَيْعَةِ
اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ
فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا
اسْتَرْعَاهُمْ
“Dulu Bani Israel diurus oleh para Nabi.
Setiap kali seorang Nabi meninggal, ia digantikan oleh Nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para Khalifah dan
mereka banyak.”
Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang
engkau perintahkan kepada kami?” Nabi ﷺ bersabda, “Penuhilah baiat yang
pertama. Yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya
Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diminta agar mereka
mengurusnya.”
(HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn
Majah)
Hadits tersebut, dan banyak lagi yang semakna
dengan itu, menjelaskan kepada kita bahwa para Nabi selain menyampaikan risalah
wahyu, juga mereka mempraktikkan risalah tersebut dalam sebuah masyarakat yang
dipimpinnya.
Makna frasa "mengatur urusan mereka
(tasuusuhum)" berasal dari akar kata sasa-yasusu-siyasatan
(pengaturan). Praktik itu adalah pengaturan masyarakat dengan aturan yang
bersumber dari wahyu.
Artinya, praktik pengaturan (politik)
adalah perilaku yang dilakukan oleh para Nabi sepanjang masa kerisalahannya.
Kita bisa melihat, misalnya teladan
kehidupan Nabi Yusuf AS, Nabi Dawud AS, Nabi Sulaiman AS ataupun Nabi Musa AS,
sehingga sangat tepat praktik kehidupan para Nabi ketika mereka memimpin umat
adalah kehidupan pengaturan dengan risalah (kehidupan politik).
Praktik ini terjadi sepanjang masa hingga
zaman Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ. Hanya Nabi Muhammad ﷺ
menegaskan bahwa setelah beliau ﷺ wafat tidak ada lagi Nabi, tetapi
estafet otoritas pengaturan urusan masyarakat (manusia) diserahkan kepada para
Khalifah.
Rasulullah ﷺ pun telah
mencontohkan bagaimana beliau memohon kekuasaan kepada Allah SWT untuk
mewujudkan hal itu.
… وَاجْعَل
لِّي مِن لَّدُنكَ
سُلْطَانًا نَّصِيرًا
"…Dan berikanlah kepadaku dari sisi
Engkau kekuasaan yang menolong." (QS. Al-Isra’ (17): 80)
Imam Qatadah menjelaskan, “Nabi ﷺ
menyadari bahwa tidak ada daya bagi beliau dengan perkara ini kecuali dengan sulthân
(kekuasaan). Karena itu beliau memohon kekuasaan yang menolong untuk
Kitabullah, untuk hudûd Allah, untuk kewajiban-kewajiban dari Allah dan
untuk tegaknya agama Allah. (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).
Kekuasaan itu tidak ada artinya jika
bukan sulthân[an] nashîr[an] (kekuasaan yang menolong). Kekuasaan yang
menolong itu hanyalah kekuasaan yang sedari awal memang ditujukan untuk menolong
agama Allah SWT, Kitabullah dan untuk menegakkan Syariah-Nya. Kekuasan seperti
ini hanyalah kekuasaan yang Islami sejak dari asasnya, bentuknya, sistemnya,
hukumnya, perangkat-perangkatnya, struktur dan semua penyusunnya. Kekuasaan
yang menolong seperti itu adalah Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-Nubuwwah.
Adapun secara bahasa, Khalifah (jamak: Khulafaa')
berasal dari kata 'Khalafa' bermakna 'menggantikan'. Sistem
kenegaraannya adalah sistem Khilafah.
Khilafah adalah kepemimpinan global bagi
seluruh umat Islam di dunia untuk menjalankan seluruh Syari'at Islam secara
kaffah dalam segala aspek kehidupan dan menyebarluaskan Islam ke segala
penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Para Khalifah mereka menggantikan
Rasulullah ﷺ untuk masalah pengaturan urusan manusia atau masyarakat
dengan hukum-hukum Allah SWT. Bukan menggantikan Rasulullah ﷺ dalam
masalah Kenabian (Nubuwwah).
Karena itulah politik adalah akar masalah
segala problematika umat saat ini, yaitu tidak adanya institusi politik Islam
atau pemerintahan Islam atau kekuasaan Islam atau Negara Khilafah Islam sang
pelaksana Syariah dan pemersatu umat.
Pasca Khilafah Islam yang berpusat di
Turki dibubarkan dan diruntuhkan oleh Inggris melalui agennya seorang yahudi
yang bernama Mustafa Kamal at-Tarturk laknatullahi 'alaihi pada 03 Maret
1924 M, umat Islam pun
yang sebelumnya satu jama'ah atau satu umat, satu kepemimpinan/ satu pemerintahan
dan satu negara terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara-negara kecil yang
lemah dalam sekat dan bentuk negara bangsa (nation state) dengan paham
sempit nasionalismenya yang sesat.
Hingga umat Islam pun merintih kesakitan
tiada kesudahan, saling berperang dan saling bunuh antar mereka serta
terus-menerus tiada kesudahan umat Islam dan negeri-negeri mereka pun dijajah,
dan kekayaan sumberdaya alam negeri-negeri mereka pun dirampok dengan rakusnya
oleh para penjajah kafir.
Bahkan mereka umat Islam pun dibunuhi
secara massal dengan sadisnya oleh musuh-musuh mereka baik penjajah kafir
barat, zionis yahudi maupun penjajah kafir timur.
Umat Islam pun hingga kini terus menerus
dipecundangi dan menjadi bulan-bulanan kaum kafir penjajah tersebut.
Saat ini kondisi umat Islam benar-benar
seperti anak ayam yang kehilangan induknya dan bagaikan kebun tanpa pagar. Umat
Islam benar-benar dalam kondisi antara hidup dan mati.
Di sinilah pula salah satu urgensi
pentingnya melek politik dan berjuang secara politik menegakkan kembali
Khilafah Islam. Karena, subtansi Khilafah adalah politik ilahiyah yaitu
penerapan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dan
persatuan umat Islam (ukhuwwah al-Islamiyyah).
Dan hukum memperjuangkan penerapan Syariah Islam secara
kaffah dalam segala aspek kehidupan melalui penegakan kembali institusi politik
Khilafah Islam adalah wajib (fardhu) bagi seluruh umat Islam apapun madzhab dan
harakah dakwahnya.
Janji kemenangan dan pertolongan Allah,
serta kabar gembira akan tegaknya kembali Khilafah yang berjalan mengikuti
metode Kenabian termaktub dalam Hadits Nabi ﷺ.
Jadi, jelaslah bahwa persoalan pengaturan
(politik dengan basis wahyu) dalam tradisi Islam bukanlah hal yang baru dan
asing. Ia terkait dengan peran
Nabi ﷺ sejak diutus hingga menjadi pemimpin negara adidaya dan
masyarakat secara de facto dan de jure di Madinah dan dilanjutkan
oleh para Khalifah sesudahnya dalam sistem Khilafah Islam yang telah
berkuasa lebih dari 13 abad lamanya dan telah menguasai 2/3 dunia. Tentu
menjadi masalah ketika hari ini, umat Islam menjadi asing dengan politik atau
menjauhkan diri dari politik. Padahal, pada saat yang sama, konsep dan dimensi
perilaku para Nabi termasuk Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ adalah berpolitik
di bawah naungan wahyu Allah SWT.
Dan wahyu Allah SWT yang diturunkan
kepada Rasulullah ﷺ tersebut adalah risalah Islam. Islam sendiri
merupakan akidah ruhiyah (akidah spiritual) dan sekaligus juga akidah siyasiyah
(akidah politik) yang mengatur segala aspek kehidupan dan tidak sekedar
mengatur aspek ritual belaka. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا
ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً
وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
ۚ
إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu." (QS. Al-Baqarah: 208)
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ
دِينًا
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agama Islam untuk kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah
Aku ridhoi Islam sebagai agama kalian." (QS. Al-Maidah: 3)
Karena itulah, Islam adalah agama yang
diturunkan oleh ALLAH SWT kepada Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ untuk
mengatur hubungan manusia dengan al-Khaliq yaitu Allah SWT Sang Maha
Pencipta yaitu mencakup perkara akidah dan ibadah (hablun minallah);
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun minan nafsi)
yaitu mencakup perkara makanan, minuman, pakaian dan akhlak; dan mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya atau mu'amalah (hablun minannas) yaitu
mencakup perkara politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan, pertahanan
dan keamanan, hukum dan peradilan.
Islam
Mengatur Politik
Dalam Islam politik bukanlah sesuatu yang
kotor. Politik Islam tidak identik dengan rebutan kedudukan dan kekuasaan.
Dalam bahasa Arab, politik berpadanan dengan kata sâsa-yasûsu-siyâsat[an];
artinya mengurusi, memelihara.
Samih ‘Athif dalam bukunya, As-Siyâsah
wa As-Siyâsah Ad-Duwaliyyah (1987: 31), menulis bahwa politik (siyâsah)
merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada
kebenaran dan membimbing menuju kebaikan.
Karena itu, dalam Islam, politik amatlah
mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan.
Alasannya: Pertama, Islam adalah agama yang syâmil
(menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya
mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan
individual.
Syariah Islam juga mengatur mu’âmalah
seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. Islam pun mengatur
masalah ‘uqûbah (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam
pengadilan Islam.
Bukti dari semua ini bisa kita lihat
dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas perbagai persoalan
mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/ Khilafah (kepemimpinan
politik Islam).
Dalam al-Qur’an, Allah SWT bukan hanya
mewajibkan shaum Ramadhan; kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (QS al-Baqarah
[2]: 183), tetapi juga mewajibkan hukum qishâsh dalam perkara
pembunuhan; kutiba ‘alaykum al-qishâsh (QS al-Baqarah [2]: 78).
Di dalam QS al-Baqarah [2]: 216 Allah SWT
pun mewajibkan perang (jihad) dengan firman-Nya: kutiba ‘alaykum al-qitâl.
Menurut para mufassir, semua frasa kutiba
‘alaykum dalam ayat-ayat tersebut memberikan makna furidha ‘alaykum.
Al-Qur’an juga tak hanya membahas shalat,
aqim ash-shalah (QS al-Baqarah [2]: 43), tetapi juga bicara ekonomi saat
menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275], juga
saat mewajibkan pendistribusian harta secara adil di tengah masyarakat (QS
al-Hasyr [59]: 7).
Kedua, apa yang dipraktikkan langsung oleh
Rasulullah ﷺ saat menjadi kepala Negara Islam di Madinah menunjukkan hal
yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan.
Tampak jelas peran Rasulullah ﷺ
sebagai kepala negara, sebagai qâdhî (hakim) dan panglima perang. Rasul ﷺ
pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri
untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para
penguasa di sekitar Madinah.
Masjid Nabawi sendiri pada masa
Rasulullah ﷺ bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual, tetapi
juga menjadi tempat Rasulullah ﷺ bermusyawarah bersama para Sahabatnya
untuk membicarakan segala urusan rakyatnya, termasuk mengatur strategi perang.
Hingga kini di Masjid Nabawi berdiri
kokoh ustuwanah wufud (tiang delegasi). Di sinilah Rasulullah ﷺ
menerima tamu-tamu kenegaraan. Posisinya paling ujung dari sudut mihrab
tahajud. Terdapat pula ustuwanah haris (tiang penjaga).
Di sinilah Ali bin Abi Thalib mengawal
Rasulullah ﷺ dan ditugasi menyampaikan pesan kepada para tamu.
[Al-Islam No. 823/21 Dzulhijjah 1437 H/23
September 201]
Kesimpulan
Fakta hakiki politik adalah pengaturan
urusan masyarakat di dalam negeri dan di luar negeri dengan cara dan aturan
tertentu, dilakukan oleh penguasa secara praktis, dan diawasi serta dikoreksi
oleh rakyat. Politik adalah aktivitas manusia yang merupakan sebuah keniscayaan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sepanjang sejarah peradaban umat
manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.
Politik Islam adalah pengaturan urusan
masyarakat di dalam negeri dan di luar negeri dengan cara dan aturan Islam, dilakukan
oleh penguasa secara praktis, dan diawasi serta dikoreksi oleh rakyat. Konsep
politik Islam seperti inilah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Rasulullah ﷺ,
para Khulafaur Rasyidin, dan Khalifah setelahnya sejak Khilafah Bani Umayyah,
Khilafah Bani Abbasiyah hingga Khilafah Bani Utsmaniyah. Sistem politik Islam
terwujud dalam sistem Khilafah. Sebuah pemerintahan yang berasal dari Allah,
oleh manusia, dan untuk manusia.
Secara hakiki, warna politik (konsepsi
politik) akan bergantung pada visi dan ideologi politik pelaku. Sebuah
keniscayaan bagi seluruh umat manusia baik tua maupun muda untuk berpolitik.
Oleh karena itu, sangat pentingnya melek politik agar dapat memahami hakikat di
balik realitas berbagai macam peristiwa atau fakta-fakta politik yang terjadi
dan yang akan terjadi (analisa politik), serta konsepsi politik dan aktivitas
politik dalam mewujudkan perubahan yang lebih baik dan cemerlang.
Penguasaan ini juga karena berpolitik -dalam arti mengatur
urusan rakyat dengan hukum dan aturan Islam- adalah sebuah kewajiban agung,
yang jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT semata dan caranya benar
sesuai dengan Islam, maka akan berpahala dan akan mendapatkan keberkahan
di sisi Allah SWT dan akan membawa kebaikan dan keberkahan pula di tengah masyarakat.
Akan tetapi, bila ditinggalkan maka hanya akan berdosa besar dan hanya akan
membawa kerusakan dan balak-bencana di tengah masyarakat.
Lebih jauh dari itu, mengatur urusan umat
dengan Islam adalah bukti keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya juga sekaligus bukti kita sebagai manusia yang berakal dan mampu
mengekspresikan fitrah kemanusiaan. Dalam hal ini Rasulullah ﷺ
bersabda:
من اصبح
و الدنيا اكبر
همه فليس من الله
في شيء...و من لم يهتم
للمسلمين عامة
فليس منهم
"Siapa saja yang bangun pagi dan
hanya memperhatikan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna sedikitpun
di sisi Allah...Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia
tidak termasuk golongan mereka."
[HR. Thabrani dari Abu Dzar al-Ghifari]
Walhasil, dengan melek politik maka
seseorang atau manusia akan terhindar dari buta politik yang sangat berbahaya
bagi kelangsungan hidup manusia dan yang merusak serta menghancurkan kehidupan
umat manusia. Dengan melek politik pula, maka akan mewujudkan sebuah kecerdasan
politik yaitu kecerdasan atau kemampuan seseorang untuk berpikir mendalam dan
cemerlang, bersikap, dan bertindak dalam mengatur urusan masyarakat, dan dalam
memahami peristiwa atau fakta atau realitas yang sesungguhnya terjadi, serta
kecerdasan atau kemampuan dalam memahami hakikat atau esensi dan substansi di balik
setiap peristiwa atau fakta atau realitas tersebut beserta solusinya.
Dan juga semakin memahamkan dan
menyadarkan kita bahwa Islam dan politik tidak terpisahkan, karena politik adalah
salah satu pilar utama Islam dan politik pun bagian dari ajaran mulia Islam.
Memisahkan politik dari Islam sama saja dengan merusak dan menghancurkan Islam,
dan memisahkan Islam dari politik sama saja dengan merusak dan menghancurkan
politik.
Jadi, dengan kecerdasan politik pula akan
semakin memahamkan dan menyadarkan kita bahwasanya akar masalah dari segala
carut-marutnya problematika umat manusia dan dunia saat ini adalah karena
masalah politik yaitu tidak diterapkannya sistem atau ideologi (mabda') Islam
secara totalitas dalam segala aspek kehidupan khususnya dalam kehidupan
bernegara, akibat tidak adanya kekuasaan Islam atau pemerintahan Islam yakni
institusi politik Islam Al-Khilafah.
Tapi justru saat ini yang diterapkan
adalah sistem penjajah atau ideologi kufur kapitalisme sekulerisme demokrasi
dan sosialisme komunisme yang terbukti hanya membawa dan menjadi biang
penjajahan, kerusakan, petaka dan balak-bencana bagi umat manusia dan dunia.
Dan dengan kecerdasan politik pun akan
semakin membuat kita melek politik dan memahami solusi ideologis atas segala
problematika umat manusia dan dunia, yaitu hanya Islam, dengan segera
mencampakkan sistem kufur demokrasi kapitalisme sekulerisme maupun sosialisme
komunisme dan bersegera hijrah ke sistem Islam secara totalitas dalam segala
aspek kehidupan dengan menegakkan kembali Khilafah Islam Sang Pelaksana Syariah
dan Pemersatu Umat sehingga akan terwujud kembali Khairu Ummah (umat
yang terbaik) dan Islam Rahmatan Lil 'Alamin yang menebar rahmah dan
berkah bagi dunia dan alam semesta.
Inilah pentingnya melek politik untuk
mewujudkan kecerdasan politik sehingga kita akan turut bergerak terlibat dengan
struggle dalam setiap peristiwa politik sebagai bagian dari solusi Islam
bagi umat manusia dan dunia, serta kita pun akan semakin memahami konstelasi
geopolitik straregis dunia, dan kita juga tidak akan pernah tertipu lagi
ataupun tidak akan pernah tersesatkan lagi oleh penjajah kafir terlaknat dan
para penguasa pengkhianat dan ruwaibidhah boneka kafir penjajah, serta
media mainstream corong penjajah dan penguasa boneka.
Sekaligus dengan melek politik yang
berwujud kecerdasan politik akan pula mewujudkan terjadinya revolusi pemikiran
dan kebangkitan umat secara hakiki serta akan menggerakkan kita bersatu padu bersama seluruh
elemen umat Islam apapun madzhab dan harakahnya dalam ikatan shahih ideologi
Islam berasas akidah Islam secara jama'i dengan hanya mengikuti metode dakwah
Rasulullah ﷺ untuk segera mewujudkan revolusi ideologis yang syar'i
yaitu perubahan dari peradaban sampah kapitalisme berganti menjadi peradaban
baru yang penuh rahmah nan penuh berkah yaitu peradaban Islam yang agung dalam
bingkai Khilafah Rasyidah Islamiyah.
Wallahu a'lam bish shawab. []
DAFTAR PUSTAKA:
1. MD. Riyan, Political Quotient:
Meneladani Perilaku Politik Para Nabi
2. www.dakwatuna.com
3. www.hizbut-tahrir.or.id
4. www.dakwahmedia.com
5. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhamul
Islam; Takattul Hizbiy; Mafahim Hizbut Tahrir; Daulah Islam, Ajhizah
Daulah Khilafah; At-Tafkir; Sur'atul Badihah; Mafahim Siyasiy li Hizbit Tahrir;
Nidzhamul Hukmi fil Islam
6. Hizbut Tahrir, Buletin Jumatan Al-Islam
7. Tabloid Media Umat
8. Majalah Al-Wa'ie