Oleh: Zakariya al-Bantany
Khilafah adalah salah-satu ajaran Islam
yang agung dan telah diajarkan, dicontohkan, dipraktikkan dan diterapkan serta
diwariskan oleh Rasulullah ﷺ dan para Sahabat Radhiyallahu 'anhum
serta para Khalifah setelahnya selama lebih dari 13 abad lamanya sejak
Rasulullah ﷺ pertama kali mendirikan Daulah Islam (Negara Islam) yang
pertama di Madinah dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin (Khilafah Rasyidah
yang pertama), Khilafah bani Umayyah, Khilafah bani Abbasiyah dan Khilafah bani
Utsmaniyah. Jadi, sanad Khilafah ajaran Islam tersebut sampai ke Rasulullah ﷺ.
Dengan Khilafah tersebut, Islam berhasil
menguasai 2/3 dunia dan berhasil mewujudkan Islam rahmatan lil 'alamin
dan khairu ummah (umat yang terbaik) hingga peradaban Islam yang agung
pun semakin cemerlang dan mencapai masa keemasannya yang gemilang dalam pentas
sejarah peradaban umat manusia hingga cahaya Islam pun mencapai dan menyinari
seantero bumi Nusantara dari Sabang hingga Merauke melalui dakwah politis yang
dilakukan para Wali Songo -yang notabene Penghulu Ulama Aswaja di bumi
Nusantara- yang diutus secara resmi oleh Khalifah Sultan Muhammad I pada masa
Khilafah bani Utsmaniyah yang berpusat di Turki yang diawali pada tahun 1404
M/808 H.
Khilafah
Kepemimpinan Tunggal Islam
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi
seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum
Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi.
Khilafah terkadang juga disebut Imamah;
dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam
hadits-hadits shahih.
Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama
dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam baik sistem kufur
demokrasi, sistem kufur teokrasi, sistem kufur komunis, maupun sistem kufur
monarkhi (kerajaan). Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya
menginterpretasikan Khilafah menurut kerangka politik yang ada sekarang, tetap
saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah sistem politik Islam
yang sangat khas.
Khalifah adalah kepala negara dalam
sistem Khilafah. Dia bukanlah raja, presiden atau diktator, melainkan seorang
pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang
secara ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu
bai’at, baik bai'at in'iqad (resmi) yang dilakukan oleh ahlul ahli
wal 'aqdi ataupun Syaikhul Islam maupun bai'at tha'at dari seluruh
umat Islam kepada Khalifah yang terpilih dengan penuh keridhaan.
Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa
menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau diktator,
yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan.
Contohnya bisa dilihat pada para raja dan
diktator di Dunia Islam saat ini, yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta
menjarah kekayaan dan sumberdaya milik umat.
Juga berbeda dengan konsep presidensial
republik dalam negara demokrasi -yang sanadnya sampai ke Plato seorang filosof
Yunani yang pagan- yang menjadikan pemilu sebagai metode baku pemilihan
presiden dan wakil rakyat tanpa adanya kontrak atau aqad bai'at. Dalam faktanya
konsep presidensial republik dalam negara demokrasi banyak melahirkan penguasa
dan wakil rakyat yang korup dan pengkhianat, serta diktator dan sangat tiran
hingga melahirkan tirani minoritas.
Kontrak bai’at mengharuskan Khalifah
untuk bertindak adil
dan memerintah rakyatnya berdasarkan syariat Islam. Dia tidak memiliki
kedaulatan dan tidak dapat melegislasi hukum dari pendapatnya sendiri yang
sesuai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya.
Setiap undang-undang yang hendak dia
tetapkan haruslah berasal dari sumber hukum Islam, yang digali dengan
metodologi yang terperinci, yaitu ijtihad.
Apabila Khalifah menetapkan aturan yang
bertentangan dengan sumber hukum Islam, atau melakukan tindakan opresif atau represif
terhadap rakyatnya, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa dalam sistem
Negara Khilafah, yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment
kepada Khalifah dan menggantinya.
Khilafah
Ajaran Aswaja
Salah satu ajaran utama Aswaja (Ahlussunnah
wal Jama'ah) adalah Khilafah sebagai tuntutan akidah tauhid Islam sekaligus
puncak tauhid itu sendiri dan puncak dakwah Islam.
Jumhur Ulama Aswaja bersepakat wajibnya
Khilafah. Karena Khilafah hukumnya wajib menurut hukum syara' baik Al-Qur’an,
as-Sunnah dan Ijma' Sahabat.
Mengangkat seorang Khalifah adalah
kewajiban yang telah disepakati para Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).
Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari
kesepakatan mereka.
Ulama
Aswaja Sepakat Wajibnya Khilafah
Imam ‘Alauddin al-Kasani, seorang ulama
besar dari mazhab Hanafi menyatakan:
وَ لِأَنَّ
نَصْبَ اْلإِمَامِ
اْلأَعْظَمِ فَرْضٌ،
بِلاَ خِلاَفٍ
بَيْنَ أَهْلِ
الْحَقِّ، وَلاَ
عِبْرَةَ -بِخِلاَفِ
بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ-؛
ِلإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ
رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ عَلَى
ذَلِكَ، وَلِمِسَاسِ
الْحَاجَةِ إلَيْهِ؛
لِتَقَيُّدِ اْلأَحْكَامِ،
وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ
مِنْ الظَّالِمِ،
وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي
هِيَ مَادَّةُ
الْفَسَادِ، وَغَيْرِ
ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ
الَّتِي لاَ تَقُومُ
إلاَّ بِإِمَامٍ …
“Sebab, mengangkat Imam al-A’zham
(Khalifah) adalah fardhu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq.
Tidak bernilai sama sekali —penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah— karena
adanya Ijma' Sahabat Radhiyallahu 'anhum atas kewajiban itu; juga karena
adanya kebutuhan terhadap Khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum
(Syariah), membela orang yang dizalimi dari orang yang zalim, memutus
perselisihan yang menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang
tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang Imam (Khalifah)… (Imam al-Kasani,
Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i XIV/406).
Di dalam Kitab Râdd al-Muhtâr
(IV/205) juga dinyatakan:
(قَوْلُهُ
وَنَصْبُهُ) أَيْ
اْلإِمَامِ الْمَفْهُومِ
مِنْ الْمَقَامِ
(قَوْلُهُ أَهَمُّ
الْوَاجِبَاتِ)
أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا
لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ
مِنْ الْوَاجِبَاتِ
الشَّرْعِيَّةِ
عَلَيْهِ، وَلِذَا
قَالَ فِي الْعَقَائِدِ
النَّسَفِيَّةِ: وَالْمُسْلِمُونَ
لاَ بُدَّ لَهُمْ
مِنْ إمَامٍ، يَقُومُ
بِتَنْفِيذِ أَحْكَامِهِمْ؛
وَإِقَامَةِ حُدُودِهِمْ،
وَسَدِّ ثُغُورِهِمْ،
وَتَجْهِيزِ جُيُوشِهِمْ؛
وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ،
وَقَهْرِ الْمُتَغَلِّبَةِ
وَالْمُتَلَصِّصَةِ
وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ،
وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ
وَاْلأَعْيَادِ،وَقَبُولِ
الشَّهَادَاتِ
الْقَائِمَةِ
عَلَى الْحُقُوقِ؛
وَتَزْوِيجِ الصِّغَارِ
وَالصَّغَائِرِ
الَّذِينَ لاَ
أَوْلِيَاءَ لَهُمْ،
وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ
ا هـ (قَوْلُهُ
فَلِذَا قَدَّمُوهُ
إلَخْ) فَإِنَّهُ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تُوُفِّيَ يَوْمَ
اِلاثْنَيْنِ
وَدُفِنَ يَوْمَ
الثُّلاَثَاءِ
أَوْ لَيْلَةَ
اْلأَرْبِعَاءِ
أَوْ يَوْمَ اْلأَرْبِعَاءِ
ح عَنْ الْمَوَاهِبِ،
وَهَذِهِ السُّنَّةُ
بَاقِيَةٌ إلَى
اْلآنَ لَمْ يُدْفَنْ
خَلِيفَةٌ حَتَّى
يُوَلَّى غَيْرُهُ
“(Perkataannya: wa nashbuhu)
maksudnya adalah (mengangkat) Imam al-A’zhâm (dan perkataannya: ahamm
al-wâjibât (kewajiban yang paling penting), yakni; mengangkat seorang Imam
(Khalifah) itu termasuk kewajiban yang paling penting karena banyak kewajiban
Syariah bergantung kepada dia. Oleh karena itu, Imam an-Nasafi dalam Al-‘Aqâ’id
an-Nasafiyyah berkata, “Sudah menjadi keharusan bagi kaum Muslim memiliki
seorang Imam (Khalifah) yang melaksanakan hukum-hukum Syariah mereka,
menegakkan hudud atas mereka, memperkuat benteng-benteng pertahanan,
membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata
musuh serta para pembegal, menegakkan shalat Jumat dan Hari Raya, menerima
berbagai kesaksian yang membuktikan berbagai hak, menikahkan orang-orang lemah
dan kecil yang tidak memiliki wali serta membagikan ghanimah untuk mereka.
(Perkataannya: Oleh karena itu para Sahabat mendahulukan (pengangkatan
Imam/Khalifah…dst) maka sesungguhnya Nabi ﷺ wafat pada hari Senin dan
dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu (h) dari
Al-Mawâhib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, Khalifah tidak
akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain (Ibnu ‘Abidin, Radd
al-Muhtâr, IV/205).
Imam al-Qurthubi, seorang Ulama dari
Mazhab Maliki. juga menyatakan:
…هَذِهِ
اْلآيَةُ أَصْلٌ
فِي نَصْبِ إِمَامٍ
وَخَلِيْفَةٍ
يُسْمَعُ لَهُ
وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ
بِهِ الْكَلِمَةُ،
وَتُنَفَّذَ بِهِ
أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ.
وَلاَ خِلاَفَ
فِي وُجُوْبِ
ذَلِكَ بَيْنَ
اْلاُمَّةِ وَلاَ
بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ
إِلاَّ مَا رُوِيَ
عَنِ اْلاَصَمِ…
“…Ayat ini adalah dalil asal atas
kewajiban mengangkat seorang Imam atau Khalifah yang didengar dan ditaati, yang
dengan itu kalimat (persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan
hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik
di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari
al-Asham…” (Catatan: Al-Asham adalah orang Muktazilah yang berpendapat bahwa
mengangkat seorang Khalifah tidak wajib, namun dia dianggap sesat dan
menyimpang dari kesepakatan kaum Muslim)" (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Di dalam Kitab At-Tâj wa al-Iklîl li
Mukhtashar Khalîl disebutkan:
قَالَ
إمَامُ الْحَرَمَيْنِ
أَبُو الْمَعَالِي:
لاَ يُسْتَدْرَكُ
بِمُوجِبَاتِ
الْعُقُولِ نَصْبُ
إمَامٍ وَلَكِنْ
يَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ
الْمُسْلِمِينَ
وَأَدِلَّةِ السَّمْعِ
وُجُوبُ نَصْبِ
إمَامٍ فِي كُلِّ
عَصْرٍ يَرْجِعُ
إلَيْهِ فِي الْمُلِمَّاتِ
وَتُفَوَّضُ إلَيْهِ
الْمَصَالِحُ
الْعَامَّةُ
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali berkata,
“Mengangkat seorang Imam (Khalifah) tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika
akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijma' kaum Muslim dan dalil-dalil
sam’iyyah. Kewajiban mengangkat seorang Imam (Khalifah) di setiap masa untuk
mengembalikan berbagai kesukaran kepada Imam dan menyerahkan kemaslahatan umum
kepada dia (Imam al-Muwaq, At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl,
V/131).
Imam Abu Zakariya an-Nawawi, dari
kalangan Ulama mazhab Syafi’i juga mengatakan:
وَأَجْمَعُوا
عَلَى أَنَّهُ
يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ
نَصْبُ خَلِيفَةٍ
وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ
لاَ بِالْعَقْلِ،
وَأَمَّا مَا حُكِيَ
عَنْ اْلأَصَمّ
أَنَّهُ قَالَ:
لاَ يَجِبُ، وَعَنْ
غَيْرِهِ أَنَّهُ
يَجِبُ بِالْعَقْلِ
لاَ بِالشَّرْعِ
فَبَاطِلاَنِ
“Para Ulama sepakat bahwa wajib atas kaum
Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan
Syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham
bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa
mengangkat seorang Khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan
Syariah, maka dua pendapat ini batil.” (Imam Abu Zakariya an-Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, VI/291).
Di dalam Kitab Rawdhah ath-Thâlibîn wa
’Umdah al-Muftîn disebutkan:
لاَ بُدَّ
لِلأُمَّةِ مِنْ
إِمَامٍ يُقِيْمُ
الدِّيْنَ وَيَنْصُرُ
السُّنَّةَ وَيَنْتَصِفُ
لِلْمَظْلُوْمِيْنَ
وَيَسْتَوْفِي
الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا
مَوَاضِعَهَا.قُلْتُ
تَوْلَي اْلإِمَامَةِ فَرْضُ
كِفَايَةٍ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ مَنْ
يَصْلُحُ إِلاَّ
وَاحِدٌ تُعُيِّنَ
عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ
طَلَبُهَا إِنْ
لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.
“Sudah menjadi sebuah keharusan bagi umat
untuk memiliki seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah,
menolong orang-orang yang dizhalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada
tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu
kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi Imam/Khalifah) kecuali
hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi Imam/Khalifah dan wajib atas orang
tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya
terlebih dulu.” (Imam an-Nawawi, Raudhâh ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn,
III/433).
Syaikh al-Islam, Imam Zakariya bin
Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari di dalam Kitab Fath al-Wahab
juga menyatakan:
وَهِيَ
فَرْضُ كِفَايَةٍ
كَالْقَضَاءِ
“Imam al-A’zham (Khalifah) hukumnya
adalah fardhu kifayah seperti halnya peradilan.” (Imam Zakariya bin Muhammad
bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb,
II/268).
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali,
seorang Ulama mazhab Hanbali, menyatakan:
هَذِهِ
اْلآيَةُ دَلِيْلٌ
عَلَى وُجُوْبِ
نَصْبِ إِمَامٍ
وَخَلِيْفَةٍ
يُسْمَعُ لَهُ
وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ
بِهِ الْكَلِمَةُ،
وَتُنَفَّذَ بِهِ
أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ،
وَلاَ خِلاَفَ
فِي وُجُوْبِ
ذَلِكَ بَيْنَ
اْلأَئِمَّةِ
إِلاَّ مَا رُوِيَ
عَنِ اْلأَصَمِّ،
وَأَتْبَاعِهِ …
Berkata (Ibnu al-Khathib), “Ayat ini (QS
al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang
Imam atau Khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan
kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada
perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para Ulama kecuali yang
diriwayatkan dari al-Asham dan pengikutnya…” (Imam Umar bin Ali bin Adil
al-Hanbali, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Inilah pendapat yang diketengahkan oleh
Ulama Aswaja dari kalangan empat mazhab mengenai kewajiban mengangkat seorang
Khalifah. Seluruhnya sepakat bahwa mengangkat seorang Khalifah atau Imam setelah
berakhirnya zaman Kenabian adalah wajib.
Kewajiban
Paling Penting
Mengangkat seorang Khalifah atau Imam
termasuk kewajiban agama yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitami
asy-Syafii, di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan:
اِعْلَمْ
أَيْضًا أَنَّ
الصَّحَابَةَ
رِضْوَانُ اللهِ
تَعَالىَ عَلَيْهِمْ
أَجْمَعِيْنَ
أَجْمَعُوْا عَلَى
أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ
بَعْدَ اِنْقِرَاضِ
زَمَنِ النُّبُوَّةِ
وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ
أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ
حَيْثُ اشْتَغَلُوْا
بِهِ عَنْ دَفْنِ
رَسُوْلِ اللهِ
وَاخْتِلاَفُهُمْ
فِي التَّعْيِيْنِ
لاَ يَقْدِحُ فِي
اْلإِجْمَاعِ
الْمَذْكُوْرِ
“Ketahuilah juga sesungguhnya para
Sahabat Rasulullah ﷺ seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat
seorang Imam (Khalifah) setelah berakhirnya zaman Kenabian adalah wajib. Bahkan
mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting.
Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada
kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah ﷺ Perbedaan pendapat di antara
mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat Khalifah tidak merusak ijma'
mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq
al-Muhriqah, 1/25).
Di dalam Kitab Jam’u al-Wasâ’il fî
Syarh asy-Syamâ’il dinyatakan:
كَذَا
ذَكَرَهُ الطَّبَرِيُّ
صَاحِبُ الرِّيَاضِ
النَّضِرَةِ أَنَّ
الصَّحَابَةَ
أَجْمَعُوا عَلَى
أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ
بَعْدَ انْقِرَاضِ
زَمَنِ النُّبُوَّةِ
مِنْ وَاجِبَاتِ
اْلأَحْكَامِ
بَلْ جَعَلُوهُ
أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ
حَيْثُ اشْتَغَلُوا
بِهِ عَنْ دَفْنِ
رَسُولِ اللَّهِ
– صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
– وَاخْتِلاَفُهُمْ
فِي التَّعْيِينِ
لاَ يَقْدَحُ فِي
اْلإِجْمَاعِ
الْمَذْكُورِ
وَكَذَا مُخَالَفَةُ
الْخَوَارِجِ
وَنَحْوِهِمْ
فِي الْوُجُوبِ
مِمَّا لاَ يُعْتَدُّ
بِهِ.
“Demikianlah, sebagaimana dituturkan oleh
Imam ath-Thabari, pengarang Kitab Ar-Riyâdh an-Nadhrah, yang menyatakan
para Sahabat telah bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam/Khalifah setelah
berakhirnya zaman Kenabian termasuk di antara kewajiban-kewajiban hukum. Bahkan
mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang paling penting saat mereka lebih
menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan menguburkan jenazah Rasulullah ﷺ.
Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling berhak
menduduki jabatan itu tidaklah menciderai kesepakatan (ijma') tersebut.
Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan
dengan mereka mengenai kewajiban (mengangkat seorang Imam/Khalifah), termasuk
perkara yang tidak perlu diperhitungkan.” (Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula
al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219).
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini
dalam Kitab Al-Irsyâd bahkan menyatakan:
اَلْكَلاَمُ
فِى اْلإِمَامَةِ
لَيْسَ مِنْ أُصُوْلِ
اْلاِعْتِقَادِ، وَالْخَطْرُ
عَلَى مَنْ يَزِلُ
فِيْهِ يُرَبِّى
عَلَى الْخَطْرِ
عَلَى مَنْ يَجْهَلُ
أَصْلاً مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ
“Pembicaraan tentang Imamah (sebenarnya)
tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan). Namun, bahaya atas orang yang
tergelincir di dalamnya lebih besar dibandingkan atas orang yang tidak mengerti
salah satu bagian pokok-pokok agama (ushûl ad-dîn).”
[Ulama Aswaja Sepakat: Khilafah
Wajib!, www.hizbut-Tahrir.or.id, 2015/08/04]
Urgensi
Khilafah
Kedudukan Khilafah dalam pokok-pokok Syariah
dimasukkah oleh Ulama ushuluddin dalam masalah pokok-pokok agama, seperti bab
al-Imamah (al-Khilafah).
Kewajiban mendirikan Khilafah bagi umat
Islam adalah persoalan utama umat Islam (al-qadhiyah masyiriyah) dan
Khilafah pun adalah mahkota kewajiban dalam Islam (taajul furuudh).
Sebab dengan Khilafah seluruh hukum-hukum Islam atau Syariah Islam bisa
diterapkan secara sempurna dan menyeluruh.
Karena keberadaan Khilafah mutlak
diperlukan berkaitan dengan empat perkara penting dalam Islam. Pertama:
Kewajiban penegakan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala aspek
kehidupan yang merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Mustahil hal
tersebut terwujud tanpa adanya Khilafah. Sebab, hanya sistem Khilafah-lah yang
memiliki pilar yang jelas yaitu kedaulatan di tangan hukum syara’. Sementara
sistem yang lain seperti demokrasi, komunis, kerajaan, atau teokrasi
menyerahkan kedaulatan sumber hukum kepada manusia.
Kedua: Khilafah adalah dibutuhkan oleh umat
untuk persatuan umat Islam. Kewajiban persatuan umat Islam adalah perkara
mutlak (qoth’iy) yang diperintahkan hukum syara’. Persatuan umat tidak
bisa dilepaskan dari kesatuan kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia. Dan hal
ini akan terwujud kalau di tengah-tengah umat Islam ada satu Khalifah untuk
seluruh Dunia Islam.
Tentang wajibnya satu pemimpin bagi umat
Islam seluruh dunia ini, ditegaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadistnya
tentang kewajiban membai’at seorang Khalifah dan memerintahkan untuk membunuh
siapapun yang mengklaim sebagai Khalifah yang kedua , setelah Khalifah yang
pertama ada. Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا
بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا
اْلآخِرَ مِنْهُمَا»
"Jika dibaiat dua orang Khalifah
maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." (HR. Muslim)
Berdasarkan hal ini Imam an-Nawawi
berkata, “Para Ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan ba'iat kepada
dua orang Khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun
tidak.”
Sementara itu sistem nation state (negara bangsa) dan kerajaan
baik berbentuk republik-demokrasi, sosialis-komunis maupun monarki yang
diadopsi oleh umat Islam sekarang nyata-nyata telah memecah-belah umat Islam
dan menghalangi kepemimpinan tunggal di tubuh umat Islam.
Ketiga: Khilafah dibutuhkan oleh umat untuk
mengurus dan melindungi umat Islam. Sebab fungsi Imam yang menjadi kepala
negara (Khalifah) yang utama dalam Islam adalah ar-ro’in
(pengurus) dan al-junnah (pelindung) umat.
Berdasarkan hal ini adalah kewajiban
negara untuk menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang, pangan,
dan papan). Termasuk menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh
rakyatnya. Untuk itu Khalifah akan mengelola dengan baik kepemilikan umum (milkiyah
‘amah) seperti tambang emas, minyak, batu bara, yang jumlahnya melimpah
untuk kepentingan rakyat.
Sementara dalam sistem demokrasi,
pemimpin bukan lagi menjadi pengurus masyarakat, tapi pemalak rakyat dan
penindas rakyat untuk kepentingan pemilik modal. Politik demokrasi menjadi
mesin uang untuk mengembalikan modal politik yang mahal atau memberikan jalan
kolusi bagi kroni-kroni elit politik untuk memperkaya diri mereka sendiri
dengan cara korupsi dan kolusi serta nepotisme.
Tidak adanya Khilafah telah membuat umat Islam tidak ada yang
melindungi. Umat Islam tanpa Khilafah laksana buih di lautan yang
centang-perenang tak tentu arah, dan laksana ayam yang kehilangan induknya,
serta laksana kebun tanpa pagar, dan juga seperti menu hidangan di atas meja
yang diperebutkan oleh musuh-musuhnya baik dari arah Timur dan Barat maupun
dari Utara hingga Selatan. Selain tanah dan kekayaan mereka dirampok, jutaan
umat Islam dibunuh oleh para penjajah. Nyawa umat Islam demikian murah tanpa
ada yang melindungi. Padahal Rasulullah ﷺ dengan tegas mengatakan bahwa
bagi Allah hancurnya bumi beserta isinya, lebih ringan dibanding dengan
terbunuhnya nyawa seorang muslim tanpa alasan yang hak.
Terbukti sudah keberadaan penguasa muslim
sekarang tidak bisa melindungi umatnya. Bahkan mereka pembunuh rakyatnya
sendiri. Mereka memberikan jalan kepada negara-negara imperialis untuk membunuh
rakyatnya sendiri atas nama perang melawan terorisme dan globalisasi.
Keempat: Khilafah adalah metode (thariqah)
efektif dan efisien syiar penyebaran Islam ke segala penjuru dunia dengan
dakwah dan jihad yang dilakukan oleh Khilafah.
Dengan kata lain, substansi Khilafah
adalah penerapan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan,
persatuan umat Islam sedunia (ukhuwwah Islamiyah), pengurus dan penjaga umat
dan Islam, serta syiar dakwah Islam dan jihad Islam ke segala penjuru dunia.
Karena itulah, akar segala problematika
umat saat ini adalah akibat tidak adanya kekuasaan Islam al-Khilafah pasca
diruntuhkannya Khilafah yang berpusat di Turki pada tanggal 3 maret 1924 masehi
oleh kafir penjajah inggris melalui agennya seorang yahudi yang bernama mustafa
kamal attarturk laknatullahi 'alaihi hingga Islam pun dicampakkan dan
umat Islam pun kian merintih kesakitan tercabik-cabik menjadi lebih dari 50
negara kecil-kecil yang sangat lemah dalam bentuk negara bangsa (nation
state) dengan paham sempit nan sesat nasionalisme yang kufur warisan
penjajah kafir barat.
Ketiadaan Khilafah artinya hilangnya
hukum-hukum dan peraturan Syariah Islam dalam kehidupan umat yang menimbulkan
hilangnya tatanan kehidupan yang Islami yaitu hilangnya uqubah, tidak
diterapkanya sistem politik Islam atau sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pergaulan Islam
atau sistem sosial dan budaya Islam, sistem jaminan pelayanan kesehatan dalam
Islam, sistem hukum Islam, sistem pertahanan dan keamanan Islam.
Maka tidak heran Para Ulama Aswaja pun
bersepakat hilangnya Khilafah atau ketiadaan Khilafah merupakan "Ummul
Jaraim" (Induk kejahatan).
Artinya dapat kita pahami dengan mafhum
mukhalafah (pemahaman terbalik): "Adanya Khilafah adalah Ummul
Akhyar (induk kebaikan)."
Lantas, di mana letak bahayanya Khilafah -yang
notabene adalah ajaran Rasulullah ﷺ dan para Sahabat Radhiyallahu
'anhum serta Ulama Aswaja- yang akan menerapkan Syariah Islam yang
bersumber dari Allah SWT Tuhan yang Maha Esa lagi Maha serba Maha yang telah
menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan. Khilafah yang akan
mempersatukan umat, Khilafah yang akan mengurus dan melindungi umat..?!
Memang kembalinya Khilafah sangat
berbahaya bagi negara-negara penjajah kafir Barat dan Timur sebab akan
menghentikan penjajahan mereka di Dunia Islam. Khilafah juga berbahaya bagi
penguasa-penguasa negeri
Islam yang menjadi boneka barat yang menumpahkan darah umat Islam dan
memberikan jalan merampok negeri Islam. Sebab Khilafah akan menumbangkan pemimpin-pemimpin pengkhianat
dan munafik seperti ini.
Menolak dan memusuhi Syariah dan Khilafah
atau bahkan memerangi Syariah dan Khilafah bukanlah ajaran Aswaja, melainkan
ajaran orang-orang kafir dan munafik baik dari kalangan kafir penjajah Barat
dan Timur maupun agen-agen para penjajah tersebut baik penguasa-penguasa
boneka, kaum liberal kapitalis-sekuler, syiah rafidhah, komunis,
salibis, yahudi dan kaum musyrikin serta media mainstream sekuler yang
menjadi corong penguasa boneka dan corong para penjajah kafir kapitalis asing
dan aseng.
Bagi siapapun yang menolak ataupun
memusuhi Syariah dan Khilafah bahkan memerangi atau menganiaya para pejuangnya
dan menistakan panji-panji Islamnya, tapi justru membela mati-matian sistem
kufur demokrasi, kapitalisme, sekuler dan para penjajah kafir dan penguasa
bonekanya serta para penista agama Islam, maka patut dipertanyakan keimanan,
keislamannya dan juga ke Aswajaannya tersebut..!
Mengklaim Muslim dan Aswaja tapi menolak
dan anti atau sangat memusuhi bahkan memerangi Syariah dan Khilafah, serta
memfitnah Syariah dan Khilafah beserta para pejuangnya sebagai ancaman bagi
bangsa, maka itu adalah Aswaja palsu alias gadungan yang menjadi jongos dan
corong penguasa pengkhianat dan munafik serta jongos dan
corong kafir penjajah kapitalis asing dan aseng terlaknat..!
Walhasil, siapapun yang mempropagandakan
bahaya Syariah dan Khilafah atau menghalang-halangi tegaknya Khilafah bahkan
dengan mempersekusi dan mengkriminalisasi, serta anarkisme menganiaya para
pejuang Khilafah -yang sedang berdakwah tanpa kekerasan- dan menistakan
panji-panji Rasul (bendera tauhid al-Liwa dan ar-Royah), sadar atau tidak,
langsung atau tidak, telah menjadi corong para penjajah sekaligus telah secara
terang-terangan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta benar-benar telah
menistakan Islam, Allah dan Rasul-Nya sekaligus benar-benar telah menjadi
musuhnya Allah dan Rasul-Nya dan seluruh umat Islam sedunia.
Bukankah Khilafah adalah janji Allah (wa'dullah)
yang diwajibkan oleh Allah SWT dan kabar gembira Rasulullah ﷺ (Bisyarah
Rasulillah)..?! Sebagaimaaa firman Allah SWT:
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ
فِي الْأَرْضِ
كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دِينَهُمُ
الَّذِي ارْتَضَىٰ
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ
أَمْنًا ۚ
يَعْبُدُونَنِي
لَا يُشْرِكُونَ
بِي شَيْئًا ۚ
وَمَنْ كَفَرَ
بَعْدَ ذَٰلِكَ
فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa (menjadi
Khilafah) di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik." (QS. An-Nuur: 55)
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
...ثُمَّ
تَكُونُ خِلاَفَةً
عَلَي مِنهَاجِ
النُّبُوَّةِ
"...Kemudian akan datang kembali
Khilafah yang mengikuti metode Kenabian (Khilafah Rasyidah yang kedua)."
(HR. Ahmad)
Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
ۚ
وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ حُكْمًا
لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki?, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?." (QS. Al-Maaidah: 50)
Jadi, jika kita mengklaim diri seorang
Muslim dan Aswaja apapun madzab dan harakah dakwah kita, maka sudah
saatnya dan selayaknyalah pula kita umat Islam bersatu dan berjuang bersama mengembalikan
institusi Khilafah yang di perintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya ini
untuk melanjutkan kehidupan Islam dan diterapkannya Syariah Islam secara kaffah
dalam segala aspek kehidupan, dan tersebarluaskannya risalah Islam ke segala
penjuru dunia sehingga berkibarlah panji-panji tauhid Islam menaungi dan menerangi
seantero penjuru dunia hingga terwujudlah kembali kemuliaan Islam dan kemuliaan
umat Islam, serta kian tinggi dan agungnya Kalimat Allah sehingga Allah pun
membukakan pintu rahmah dan keberkahan-Nya baik dari langit maupun bumi.
Dengan terpenuhinya kewajiban Khilafah
niscaya akan terwujud kembali khairu ummah (umat yang terbaik) dan Islam
rahmatan lil 'alamin secara nyata yang menebar rahmah dan berkah bagi
dunia dan alam semesta.
Wallahu a'lam bish shawab. []
#UlamaBelaHTI
#UmatBersamaHTI
#HTIOnTheTrack
#HTILanjutkanPerjuangan
#HaramPilihPemimpinIngkarJanji
#HaramPilihPemimpinZalim
#HaramPilihPemimpinAntekAsingAseng
#HaramPilihPemimpinDiktatorAntiIslam
#2019GantiRezimGantiSistem
#2019TumbangkanDemokrasi
#2019TegakkanKhilafah
#ReturnTheKhilafah
#KhilafahTheRealSolution