Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Dan
apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai
ejekan (dengan mengatakan): ”Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul?
Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita,
seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya." Dan mereka kelak akan
mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya.”
(TQS. al-Furqan [25]: 41-42).
Rasul
diutus oleh Allah SWT untuk memberikan petunjuk dari-Nya kepada manusia. Dengan
petunjuk itu, manusia dapat mengarungi kehidupannya dengan benar. Juga, dapat
meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kendati
demikian, ada sebagian manusia yang enggan mengikuti petunjuk yang dibawa
Rasul. Bahkan, mereka menjadikan utusan Allah SWT tersebut sebagai bahan
ejekan. Atas kelancangan mereka itu, mereka pun harus menerima akibatnya.
Yakni, azab yang pedih.
Inilah di
antara yang dikandung oleh ayat ini.
Mengejek Rasul
Allah SWT berfirman: Wa idzaa rawka in yattakhidzuunaka illaa huzuww[an] (dan apabila mereka melihat kamu [Muhammad], mereka
hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan). Dalam ayat sebelumnya, orang-orang
kafir diingatkan tentang nasib yang dialami oleh kaum-kaum terdahulu yang
mendustakan Rasul. Di antara yang disebut adalah kaum Nabi Nuh, kaum 'Ad, kaum
Tsamud, Fir'aun dan pengikutnya, penduduk Rass dan kaum Nabi Luth. Mereka semua
mengalami nasib yang sama, yakni ditimpakan azab atas mereka. Penyebabnya sama,
mereka mendustakan para utusan Allah SWT yang diutus kepada mereka. Peristiwa
itu dikisahkan kepada kaum musyrik Arab agar mereka segera sadar dan bertaubat
serta mengimani Rasulullah ﷺ.
Dalam ayat ini pun kemudian diceritakan tentang sikap orang-orang
musyrik terhadap Rasulullah ﷺ. Ketika mereka berjumpa dengan beliau, mereka
mengolok-olok dan melecehkannya. Dalam ayat ini disebutkan: in yattakhidzuunaka illaa
huzuww[an]. Huruf in di sini bermakna naafiyyah (menegasikan). Karena
sesudahnya diiringi dengan huruf illaa yang merupakan istitsnaa' (pengecualian), maka kalimat tersebut memberikan
makna li al-hasyr (untuk membatasi). Bahwa, ketika mereka melihat
Rasulullah, yang mereka lakukan hanyalah menjadikan beliau sebagai huzuww[an]. Dikatakan Fakhruddin al-Razi, frasa ittakhadzu huzuww[an] bermakna isitahza‘u bihi
(mengolok-olok beliau).
Kemudian diterangkan tentang perkataan mereka: Ahadzaa al-ladzii ba'atsalLaah
rasuul[an] ([dengan mengatakan]:
"inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul?”). Menurut al-Qurthubi,
ini adalah perkataan Abu Jahal kepada Nabi ﷺ sebagai ejekan.
Kalimat yang dikatakan oleh mereka dalam bentuk istifhaam
(kalimat tanya). Diterangkan Abu Hayyan al-Andalusi, kalimat tanya tersebut
bermakna istighaar wa
ihtiqaar (merendahkan dan melecehkan).
Bahkan, menurut al-Baidhawi, mereka melakukan pengingkaran dan pelecehan paling
puncak. Seandainya tidak demikian, mereka akan berkata, ”Apakah ini orang yang
mengaku bahwa dirinya diutus Allah sebagai rasul?”
Menurut
Ibnu Katsir, ayat ini sama dengan firman Allah SWT: “Dan apabila orang-orang kafiri itu melihat kamu, mereka hanya membuat
kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan): "Apakah ini orang yang
mencela tuhan-tuhanmu?" (TQS. al-Anbiya‘ [21]: 36). Mereka
maksudkan adalah cacat dan kekurangan. Demikian pula dengan ayat ini. Perkataan
mereka itu dalam rangka merendahkan dan melecehkan.
Sikap merendahkan dan mengolok-olok beliau jelas menunjukkan kebodohan
mereka. Sebab, biasanya orang yang direndahkan memiliki cacat dalam soal fisik
dan sifatnya. Sementara, semua itu tidak ada pada diri Rasulullah ﷺ.
Soal fisik, beliau terkenal ketampanannya. Demikian juga, dengan sifatnya.
Beliau memiliki kesempurnaan sifat. Lebih dari itu, beliau adalah utusan Allah
SWT yang membawa risalah-Nya, tentulah manusia pilihan dan terbaik. Maka, hanya
orang bodoh saja yang merendahkan beliau.
Kemudian disebutkan perkataan mereka lagi dengan firman-Nya: In kaada layudhillanaa 'an
aalihatinaa lawlaa an shabarnaa 'alayhaa
(sesungguhnya hampirIah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita,
seandainya kita tidak sabar [menyembah]nya"). Dalam ayat ini, mereka
menyebut Rasulullah ﷺ hampir-hampir menyesatkan mereka. Ini mengisyaratkan
bahwa mereka yakin berada dalam kebenaran, sehingga mereka harus mempertahankan
keyakinan mereka mati-matian. Sedangkan keyakinan lainnya, pasti dianggap sesat
walaupun berasal dari seorang nabi. Meskipun tampak jelas, keyakinan mereka itu
hanya didasarkan pada taqlid buta dan menerima begitu saja dari warisan
keyakinan nenek moyang mereka.
Seandainya mereka menggunakan akal mereka sedikit saja, niscaya mereka
tidak bersikap demikian. Dengan mudah mereka akan menerima risalah yang dibawa
oleh Rasulullah ﷺ. Dalam ayat tersebut dikatakan in kaada (sesungguhnya hampir saja) Rasulullah ﷺ
mampu memalingkan mereka dari sesembahan mereka.
Di samping itu, ayat ini juga menunjukkan kesungguhan dan keseriusan
Nabi ﷺ dalam mendakwahkan risalahnya. Dikatakan
al-Zamaksyari, ini menjadi dalil atas kesungguhan Rasulullah ﷺ
yang luar biasa dalam mendakwahi mereka dan keseriusan beliau dalam mengerahkan
segenap kemampuan dan kekuatan untuk menaklukkan hati mereka dengan
menyampaikan ayat-ayat dan mukjizat-mukjizat kepada mereka hingga mereka hampir
saja -menurut pengakuan mereka-meninggalkan agama mereka dan masuk Islam. Itu
akan terjadi seandainya mereka tidak bersikap keras dan kuat dalam berpegang
teguh menyembah tuhan-tuhan mereka.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: wasawfa ya'lamuuna hiina yarawna al-'adzaab man
adhallu sabiil[an] (dan mereka kelak
akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya).
Ini merupakan ancaman buat orang-orang yang melecehkan dan merendahkan
Rasulullah ﷺ. Dikatakan al-Samarqandi, peristiwa itu terjadi pada
hari Kiamat. Pada hari itu, mereka akan menyaksikan azab. Ditegaskan ayat ini,
ketika itu mereka akan mengetahui siapakah yang tersesat jalannya. Mereka jelas
berada dalam jalan sesat. Sebab, mereka harus menerima azab yang pedih atas
kekufuran mereka dan pelecehan mereka terhadap Rasulullah ﷺ.
Diterangkan al-Zamakhsyari, firman Allah SWT: man adhallu sabiil[an] (siapa yang paling sesat jalannya) merupakan jawaban
atas perkataan mereka:
In kaada layudhillanaa 'an aalihatinaa
(sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita). Sebab, mereka menisbahkan
Rasulullah ﷺ kepada kesesatan, padahal beliau tidak meyesatkan
orang lain kecuali orang tersebut tersesat oleh dirinya sendiri.
Hukum
Mengolok-Olok Rasul
Mengolok-olok
Nabi merupakan perbuatan terlarang yang menyebabkan pelakunya jatuh kepada
kekufuran. Di antara dalilnya adalah firman Allah SWT: “Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman.” (TQS. al-Taubah [9]: 65-66).
Hukuman mereka di dunia adalah hukuman mati. Al-Qadhi 'Iyadh, dalam
kitabnya, al-Syifa bi
Ta'rif Huquq al-Musthafa, menjelaskan
bentuk-bentuk hujatan kepada Nabi ﷺ, ”Sesungguhnya semua orang yang menghina Rasululah ﷺ
adalah mencari-cari kesalahan, menganggap ada kekurangan pada diri Rasulullah ﷺ,
nasabnya, agamanya, salah satu sifatnya, kehormatannya, syubhat tentang sesuatu
dengan niat untuk mencela, merendahkan, atau mengkerdilkan urusannya,
menjelek-jelekkan, dan mencari-cari kesalahannya. Semua itu termasuk orang yang
telah menghina. Hukum terhadapnya adalah hukum orang yang menghina adalah
dibunuh, sebagaimana kami terangkan, tanpa kecuali.”
Demikianlah. Orang-orang musyrik tidak saja mengingkari dan mendustakan
Rasulullah ﷺ. Lebih dari itu, mereka melakukan tindakan konyol
dan menyakitkan. Dalam ayat ini ada dua yang disebutkan, yakni: Pertama,
mengejek dan mengolok-olok Rasulullah ﷺ. Kedua, menuduh Rasulullah ﷺ
menyesatkan mereka. Padahal, merekalah yang menyembah tuhan-tuhan mereka itu
yang sesungguhnya tersesat. Tindakan tersebut jelas merugikan diri mereka
sendiri. Sebab, tidak ada balasan yang pantas buat mereka kecuali azab yang
pedih. Wal-Laah a'lam
bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Ada dua tindakan yang dilakukan orang musyrik ketika berjumpa dengan
Rasulullah ﷺ, yakni: (1) mengolok-olok Rasulullah; (2) menyebut
Rasulullah ﷺ hampir saja menyesatkan mereka.
2. Mengejek, merendahkan, dan mengolok-olok Rasulullah ﷺ
termasuk tindakan yang mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Hukuman di
dunia adalah mati.
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 150