Ta'rifat
05 November 2012
al-Musâqâh
Al-Musâqâh merupakan bentuk mufâ’alah dari as-saqyu.
Dikatakan saqyu az-zar’i jika ia
menyiramnya dengan air (Rawas Qal’ah Ji, Mu’jam
Lughah al-Fuqaha).
Menurut al-Azhari
dalam Tahdzîb al-Lughah dikatakan: sâqâ fulânun fulânan nakhlatahu jika pohon
kurma itu diserahkan oleh si fulan (si A, red.)
kepada si fulan yang lainnya (si B, red.)
agar dia menggenangi, menyirami dan melakukan apa saja untuk kebaikan pohon
kurma itu baik sumur atau yang lain, dengan prosentase tertentu dari buahnya
untuk al-‘âmil dan sisanya untuk
pemiliknya.
Adapun secara syar’i, al-musâqâh
adalah seseorang menyerahkan pohonnya kepada orang lain agar orang lain itu
mengairinya dan melakukan apa saja yang diperlukan, lalu untuk dia prosentase
tertentu dari buahnya. Disebut musâqâh
karena merupakan bentuk mufâ’alah dari as-saqyu. Dalam hal ini, kebutuhan penduduk
hijaz paling banyak dari pohon mereka adalah pengairan. Karena mereka
mengairinya dari sumur maka disebut dengan sebutan itu, yaitu al-musâqâh (Ibn Qudamah, Al-Mughni dan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm).
Musâqâh dinyatakan kebolehannya oleh nas. Ibn
Umar meriwayatkan:
عَامَلَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
Rasulullah saw. pernah mempekerjakan penduduk Khaybar
dengan separuh dari hasilnya berupa tsamar (buah) atau zar’un (hasil pertanian)
(HR al-Bukhari dan Muslim)
Nafi’ meriwayatkan
dari Abdullah bin Umar ra., dari Nabi saw.:
أَنَّهُ أَعْطَى خَيْبَرَ
الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا يَخْرُجُ
مِنْهَا
Nabi saw. menyerahkan (tanah) Khaybar kepada Yahudi
agar mereka menggarap dan menanaminya serta untuk mereka separuh dari hasilnya (HR al-Baihaqi).
Riwayat ini
menjelaskan bahwa Rasul menyerahkan Tanah Khaybar untuk digarap oleh Yahudi
Khaybar dan mereka mendapat separuh dari hasilnya, baik tsamar maupun zar’un.
Penyebutan zar’un itu bisa muncul
anggapan bahwa yang dilakukan oleh Rasul adalah muzara’ah
sehingga hadis itu dijadikan dalil untuk memperbolehkan muzara’ah. Namun jika didalami, akan jelas bahwa praktik
Rasul di Khaybar itu hanya satu, yaitu musâqâh.
Alasannya, Tanah Khaybar itu yang dominan adalah syajar
(pepohonan), bukan tanah lapang untuk pertanian (zar’un).
Rasul saw. pun mengutus petugas untuk mengestimasi hasil kurma sebelum
dipanen. Aisyah ra, menuturkan:
كَانَ النَّبِىُّ صلى الله
عليه وسلم يَبْعَثُ عَبْدَ اللهِ بْنَ رَوَاحَةَ فَيَخْرُصُ النَّخْلَ حِينَ
يَطِيبُ قَبْلَ أَنْ يُؤْكَلَ مِنْهُ ثُمَّ يُخَيِّرُ يَهُودَ يَأْخُذُونَهُ
بِذَلِكَ الْخَرْصِ أَوْ يَدْفَعُونَهُ إِلَيْهِمْ بِذَلِكَ الْخَرْصِ لِكَىْ
تُحْصَى الزَّكَاةُ قَبْلَ أَنْ تُؤْكَلَ الثِّمَارُ وَتُفَرَّقَ
Nabi saw. pernah mengutus Abdullah bin Rawahah. Ia
mengestimasi kurma ketika mulai tua sebelum bisa dimakan. Lalu ia memberi
pilihan kepada Yahudi: mereka mengambil sesuai estimasi itu atau mereka diberi
sesuai dengan estimasi itu supaya bisa dihitung zakat sebelum tsamar itu bisa
dimakan atau dibagi (HR Abu Dawud).
Ibn Umar ra.
juga menuturkan:
… فَكَانَ يُعْطِي أَزْوَاجه
كُلّ سَنَة مِائَة وَسْق ثَمَانِينَ وَسْقًا مِنْ تَمْر وَعِشْرِينَ وَسْقًا مِنْ
شَعِير
Lalu Rasul saw. memberi istri-istri beliau tiap
tahun 100 wasaq terdiri dari 80 wasaq kurma dan 20 wasaq barley (HR Muslim).
Para ulama berkata,
“Ini adalah dalil bahwa area tanah di Khaybar yang menjadi area pertanian lebih
sedikit daripada pepohonan (syajar).”
(An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim).
Dari situ jelas bahwa
Tanah Khaybar itu lebih dominan pepohonan dan bukan area pertanian.
Adapun di situ ada zar’un maka area
pertanian itu lebih sedikit dari area syajar
sehingga ia tâbi’un (mengikuti) syajar. Jadi, di situ akadnya hanya satu yaitu
akad musâqâh, dan tidak ada akad muzâra’ah.
Musâqâh itu boleh dilakukan untuk kurma,
anggur serta tsamar dan syajar pada umumnya. Riwayat
Ibn Umar ra. di atas jelas menyatakan tsamar
dan itu bersifat umum pada semua tsamar.
Tsamar (buah) adalah apa yang dihasilkan
oleh syajar (Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab) atau al-hamlu (kandungan) yang dikeluarkan oleh syajar baik bisa dimakan atau tidak (Ahmad bin
Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbâh al-Munîr).
Dalam satu riwayat dinyatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ النَّخْلِ
وَالشَّجَر
Nabi saw. pernah mempekerjakan penduduk Khaybar
dengan separuh dari hasil kurma dan syajar (HR ad-Daraquthni).
Karena syajar bisa berbuah tiap tahun—jadi
serupa dengan kurma dan anggur—sehingga musâqâh
boleh pada semua syajar seperti itu. Dengan demikian musâqâh boleh dilakukan pada semua syajar
yang memiliki buah.
Adapun syajar yang tidak punya buah seperti cedar,
atau memiliki buah yang tidak diinginkan (tidak dicari/dibutuhkan) seperti
pinus dan cemara, maka tidak boleh dilakukan musâqâh
padanya. Alasannya, musâqâh itu tidak
lain dengan imbalan bagian dari buahnya, sementara syajar seperti jenis ini tidak memiliki buah yang
diinginkan. Berbeda halnya dengan syajar
yang diinginkan/dicari daunnya seperti mulberi atau diinginkan bunganya seperti
mawar dan melati; boleh dilakukan musâqâh
atasnya. Alasannya, daun dan bunga itu statusnya sama dengan buah sebab
ia tumbuh berulang-ulang setiap tahun dan mungkin dilakukan musâqâh atasnya dengan imbalan sebagian dari
hasil bunga atau daun itu sehingga berlaku hukum tsamar padanya (Lihat:
An-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm,
Ibn Qudamah, Al-Mughni, “kitâb al-musâqât”).
Jadi, akad musâqâh bisa dilakukan untuk pohon kurma,
anggur, zaitun, jeruk, mangga, apel, jambu, kelapa, sawit, dsb. Bisa juga
dilakukan untuk pohon cengkeh, karet, dsb. Sebaliknya, musâqâh tidak bisa dilakukan untuk
semangka, padi, melon, palawija, bunga cabut, sayur-mayur, tanaman sekali
panen, dsb.
Namun, harus diingat, musâqâh itu bukan muzara’ah. Musâqâh adalah ta’jîr
syajar atas prosentase dari buahnya atau ta’jîr
syajar bersama tanah yang menjadi ikutannya atas prosentase dari tsamar dan zar’un,
dengan ketentuan, syajar harus lebih
banyak/dominan dari tanah pertanian. Adapun ta’jîr
tanah agar ditanami syajar maka itu
adalah muzâra’ah, bukan musâqâh, sehingga tidak boleh. Sebab di dalam Anîs al-Fuqahâ’ disebutkan bahwa az-zar’u adalah tharhu al-badzri (melempar benih). Di dalam Al-Mughrib disebutkan az-zar’u adalah tanaman yang ditumbuhkan dari benih. Jadi,
tidak boleh menyerahkan tanah kepada orang lain agar ditanami syajar.
Karena itulah, di
dalam akad musâqâh itu disyaratkan harus
sudah ada syajar. Musâqâh tidak bisa dilakukan sejak menanam syajar. Jika tanah itu belum ada syajar dan ingin nantinya di-musâqâh-kan maka lebih dulu tanah itu ditanami
syajar dan dirawat baik langsung oleh pemilik tanah atau dia ijarah-kan kepada orang lain. Jika syajar itu sudah tumbuh besar baru diakadkan musâqâh padanya, bisa dengan orang yang
sebelumnya bekerja menanam dan merawat syajar
itu, atau dengan orang lain. Jika sudah ada syajar
dan sudah ada buahnya maka disyaratkan buah itu harus masih bisa bertambah
banyak atau bertambah kualitasnya karena aktivitas yang dilakukan oleh al-’âmil (orang yang mengerjakan musâqâh). Jika sudah tidak bisa
bertambah banyak atau bertambah bagus, maka tidak boleh diakadkan musâqâh atasnya.
Akad musâqâh itu sempurna melalui ijab-qabul antara
pemilik pohon dan as-sâqi/al-‘âmil, yaitu orang yang mengairi dan
merawat pohon itu. Dalam akadnya bagian al-‘âmil
atas buah/hasilnya harus jelas, misalnya separuh atau seperempat. Namun,
bukan berupa jumlah tertentu, dan bukan pula sejumlah uang atau harta tertentu.
Sebab, jika demikian maka itu adalah ijarah.
Akad musâqâh itu tidak harus ditentukan jangka
waktunya supaya akadnya sah. Sebab, Rasul saw ketika mengakadkan musâqâh dengan penduduk Khaybar, beliau tidak
menentukan jangka waktunya. Rasul saw. ketika itu bersabda:
أُقِرُّكُمْ فِيهَا عَلَى
ذَلِكَ مَا شِئْنَا
Aku menyetujui kalian di dalamnya atas hal itu sesuai
yang kami inginkan (HR Muslim).
Itu artinya, Rasul
saw. tidak menentukan berapa lama jangka waktu musâqâh
itu dan beliau bisa membatalkannya kapan saja. Hadis ini sekaligus
menunjukkan bahwa akad musâqâh merupakan
‘aqdun jâ’izun bukan ‘aqdun lâzimun, artinya kedua pihak boleh
membatalkan akad sesuai keinginannya, meski dalam hal itu ada rincian hukumnya.
Tentang cakupan
tanggung jawab as-sâqi, Ibn Umar ra.
menuturkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى
أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللهِ شَطْرُ ثَمَرِهَا
Nabi saw. pernah menyerahkan kepada Yahudi Khaybar
pohon kurma dan tanahnya dengan ketentuan agar mereka garap dari harta mereka
dan untuk Rasulullah saw. separuh buahnya (HR Muslim dan Abu Dawud).
Imam an-Nawawi di Syarh Shahih Muslim mengatakan,
“Ini adalah penjelasan tugas ‘âmil musâqâh,
yaitu semua yang diperlukan dalam memperbaiki tsamar
dan meningkatkan hasilnya, di antara apa saja yang diperlukan secara berulang
tiap tahun seperti pengairan, pembersihan saluran, perbaikan tempat tumbuh syajar, memupuknya, menyiangi rumput,
membersihkan tangkai, menjaga buah, memanen, mengeringkan, dsb. Adapun
apa yang untuk menjaga pokoknya seperti membangun pagar, menggali saluran air,
dsb, maka itu menjadi kewajiban pemilik pohon.”
Dengan demikian
tanggung jawab âmil musâqâh meliputi:
mengairi dan semua aktivitas yang diperlukan dalam hal perawatan dan
pemeliharaan syajar supaya tsamar atau hasilnya banyak. Biaya, alat dan
apa saja yang diperlukan untuk itu menjadi tanggungan dia, termasuk benih zar’u, tanaman sela atau tanaman
tumpangsarinya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]