Oleh: Zakariya al-Bantany
Pengertian Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja)
Al-Qur'an dan
As-Sunnah merupakan wahyu Allah dan sumber hukum Islam yang utama. As-Sunnah
merupakan penjelas Al-Qur’an dan perinci seluruh hukum-hukum Islam baik terkait
akidah, ibadah hingga akhlaqiyah dan mu'amalah hingga daulah (Khilafah).
As-Sunnah sendiri adalah perkataan, perbuatan dan diamnya (taqrir) Rasulullah
Saw. terhadap Sahabatnya yang beliau ketahui.
Sahabat Nabi Saw.
sendiri merupakan sebaik-baik generasi awal Islam yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya hingga akhir hayat mereka, serta mereka pun pernah berjumpa, hidup
bersama, berdakwah dan berjuang serta berjihad bersama Rasulullah Saw. Serta mereka pun totalitas taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, dan totalitas pula ittiba' (mengadopsi dan mengikuti serta
mengamalkan) Sunnah Rasulullah Saw. dalam segala aspek kehidupan khususnya pula
dalam kehidupan bernegara (Daulah/Khilafah).
Karena itulah, ada
Sahabat Nabi Saw. yang paling utama yang mendapat gelar Khulafaur Rasyidin
(para Khalifah yang mendapat petunjuk dan di jalan lurus Islam serta konsisten
mengikuti manhaj Kenabian Rasulullah Saw). Mereka adalah Khalifah Rasyidin yang
pernah memimpin Khilafah ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti metode
Kenabian/Khilafah Rasyidah yang pertama).
Yaitu 4 orang Sahabat
utama Nabi Saw: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhum. Mereka adalah Khalifah pengganti dan
penerus Rasulullah Saw. dalam melanjutkan roda pemerintahan Islam dan kekuasaan
Islam Daulah Islam serta dalam melanjutkan kehidupan Islam yaitu mmenerapkan
seluruh hukum-hukum Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, mengurus
dan menjaga akidah Islam, umat Islam dan wilayah Islam, serta menyebarluaskan
risalah Islam ke segala penjuru alam melalui dengan Daulah Khilafah Islamiyyah
tersebut.
Adapun pengertian
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) sendiri, menurut Syaikh DR. Nashir bin Abdul
Karim Al-Aql adalah:
"Golongan kaum
Muslimin yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut Ahlus Sunnah)
dan bersatu di atas kebenaran (Al-Haq), bersatu di bawah para imam (Khalifah)
dan tidak keluar dari jama’ah mereka (sehingga disebut wal jama’ah)." [Nashir
bin Abdul Karim Al-Aql, ab. Rumusan Praktis
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo : Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16]
Pengertian serupa pula
dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani di dalam kitabnya Al-Ghaniyah, yang menjelaskan tentang Ahlus
Sunnah sebagai perbuatan yang mengikuti segala yang ditetapkan Nabi Saw. (maa sannahu Rasulullah Saw. ). Dan disebut wal Jama'ah, karana mengikuti (ittiba') ijma’
sahabat mengenai keabsahan Kekhilafahan empat Khalifah dari Khulafa Rasyidin) (maa ittifaqa ‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah
al-aimmah al-arba’ah al-khulafa` ar-rasyidin). [Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru,
1992, hal. 31]
Jadi simplenya, Ahlus
Sunnah wal Jama'ah artinya adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Saw,
dan menjaga kesatuan jama'ah (Khilafah) kaum Muslim. Ini sebagaimana sabda Nabi
Saw. yang menjelaskan:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا
وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
"Kalian harus
berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin setelah aku.
Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham." (HR Ahmad,
Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim. Dia berkata,
“Berdasarkan syarat dua kitab Shahih [Bukhari dan Muslim]”).
Orang yang berpegang
teguh pada Sunnah Nabi Saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin—yaitu mengikuti,
mengamalkan dan menjaganya—inilah yang disebut Ahlus Sunnah. Adapun Al-Jama’ah
adalah sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi Saw:
مَنْ
خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ حُجَّةَ لَهُ.
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
"Siapa saja yang
melepaskan diri dari ketaatan (kepada Imam/Khalifah), maka dia pasti menghadap
Allah pada Hari Kiamat tanpa hujjah (yang mendukungnya). Siapa saja yang mati,
sementara di atas lehernya tidak ada bai'at (kepada Imam/Khalifah), maka dia
mati dalam keadaan mati Jahiliah." (HR. Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar
ra.)
Makna hadits ini
diperkuat juga oleh hadits lainnya, seperti:
مَنْ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَكَأَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ
عُنُقِهِ
"Siapa saja yang memisahkan diri dari Jama'ah kaum
Muslim (Khilafah) sejengkal saja, maka dia seperti melepaskan diri ikatan Islam
dari lehernya." (HR. Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra)
Ini menunjukkan
kewajiban untuk menjaga Jama'ah (Khilafah) yang menyatukan kata/suara kaum
Muslim. Sebaliknya, haram memisahkan diri dari jama'ah tersebut. Konotasi ini
juga diperkuat oleh hadits Nabi Saw, yang dituturkan oleh Hudzaifah Al-Yaman.
[Lihat: Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,
hadits No. 4065, Dâr Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, t.t., II/1317]
Oleh karena itulah,
Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) merupakan orang-orang atau jama'ah umat Islam
yang berpegang teguh dan totalitas ittiba' (mengadopsi dan mengikuti) pada
Sunnah Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin (Khilafah 'ala Minhajin
Nubuwwah).
Dari pengertian
Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) tersebut sangat jelas sekali bahwa ajaran
Khilafah dengan sendirinya sangat melekat erat dengan Aswaja dan Khilafah
tersebut itu pun satu paket dengan Aswaja. Khilafah merupakan prinsip dasar
yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan Aswaja. Dengan demikian upaya
memisahkan Aswaja dengan Khilafah adalah upaya mendistorsi, merusak,
menghancurkan dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.
Karena itulah,
Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) itu pada hakikatnya dalam seluruh aspek
kehidupannya totalitas secara kaffah mengadopsi mengikuti (ittiba') dan
menerapkan Sunnah Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin atau para Sahabat
radhiyallahu 'anhum tersebut. Yaitu berislam secara kaffah dan terikat hukum
Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dari A sampai Z atau dari akar
hingga daunnya, ataupun dari urusan kamar mandi, urusan sumur, urusan dapur,
urusan kasur, urusan pasar, urusan kantor, urusan masyarakat hingga urusan
negara.
Sebab, Islam itu
sendiri adalah agama (dien) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
Rasulullah Saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Al-Khaliq (Allah SWT)
atau Sang Maha Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan (hablun minallah) yaitu mencakup perkara akidah
dan ibadah; mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun minannafsi) yaitu mencakup perkara
pakaian, akhlak, makanan dan minuman; dan mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya (hablun minannaas) yaitu
mencakup perkara politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan,
hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan.
Maka, Ahlussunnah wal
Jama'ah dalam level negara tentunya sangat jelas hanya mengadopsi dan
menerapkan sistem politik Islam yakni sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah
Islamiyyah ajaran Islam dan warisan Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin.
Pemimpinnya bernama Khalifah, bentuk jama'nya Khulafa'.
Khilafah itu sendiri
pengertiannya adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia
untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia. Menegakkan Khilafah hukumnya wajib bagi seluruh kaum
Muslimin. Melaksanakan kewajiban ini sebagaimana melaksanakan kewajiban lain
yang telah dibebankan Allah SWT kepada kaum Muslimin, adalah suatu keharusan
yang menuntut pelaksanaan tanpa tawar-menawar lagi dan tidak pula ada kompromi.
Melalaikannya adalah salah-satu perbuatan maksiat yang terbesar dan Allah akan
mengazab para pelakunya dengan azab yang sangat pedih.
Di mana Khilafah itu
sendiri berfungsi sebagai thariqah Islam (metode menerapkan, menjaga dan
menyebarluaskan Islam) dan sekaligus taajul furudh (mahkota kewajiban) yaitu
pelaksana Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, pemersatu
umat (ukhuwwah Islamiyyah), pengurus dan penjaga akidah Islam dan umat Islam
serta wilayah Islam, syiar dakwah Islam dan jihad Islam ke seluruh penjuru
alam.
Jadi, sangat wajar
bila Ulama Aswaja sendiri bersepakat wajibnya Khilafah tersebut. Dan mereka pun
banyak membahas dan menjelaskan bab perihal Khilafah di kitab-kitab fiqh.
Bahkan mereka pun ada yang memasukkan dan membahas serta menjelaskan Khilafah
tersebut dalam kitab-kitab aqidah. kitab-kitab yang membahaskan aqidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab aqidah itu, semuanya menetapkan wajibnya
Khilafah. Dalam kitab Al Fiqhul Akbar
[Bandung: Pustaka, 1988], karya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Syafi’i
(w. 204 H), terdapat fasal yang menegaskan kewajiban mengangkat imam (Khalifah)
(fasal 61-62)].
Begitupula, dalam
kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya
Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H) menerangkan 15 prinsip Ahlus Sunah Wal
Jama'ah. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah (Imamah). Kata Abdul
Qahir Al-Baghdadi, ”Inna al-imaamah fardhun
‘ala al-ummah.” (sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat).
[Lihat: Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu
Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam
kitab Al-Masail Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal.
70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan, “Mengangkat
Imam [khalifah] adalah wajib ke atas umat Islam.” Pernyataan serupa juga
ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah
hal. 94 pada bab Masalah fi Al-Imamah.]
Hal yang sama juga
terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah,
karya Sayyid Husain Efendi, hal.189, beliau mengatakan,”Ketahuilah bahwa wajib
atas kaum muslimin secara syara’ untuk mengangkat seorang Khalifah…” [i’lam annahu yajibu ‘ala al-Muslimin syar’an nashb
al-Khalifah…]
Ulama Aswaja Setuju Khilafah
Salah satu ajaran
utama Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah) adalah Khilafah sebagai tuntutan akidah
tauhid Islam sekaligus puncak tauhid itu sendiri dan puncak dakwah Islam.
Jumhur Ulama Aswaja
bersepakat wajibnya Khilafah. Karena Khilafah hukumnya wajib menurut hukum
syara' baik Al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma' Sahabat.
Mengangkat seorang
Khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para Ulama Ahlus Sunnah wal
Jama'ah (Aswaja). Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah
menyimpang dari kesepakatan mereka.
Imam ‘Alauddin
al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi menyatakan:
وَ
لِأَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ اْلأَعْظَمِ فَرْضٌ، بِلاَ خِلاَفٍ بَيْنَ أَهْلِ
الْحَقِّ، وَلاَ عِبْرَةَ -بِخِلاَفِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ-؛ ِلإِجْمَاعِ
الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ
إلَيْهِ؛ لِتَقَيُّدِ اْلأَحْكَامِ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ،
وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ
الْمَصَالِحِ الَّتِي لاَ تَقُومُ إلاَّ بِإِمَامٍ …
“Sebab, mengangkat
Imam al-A’zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada perbedaan pendapat di antara
ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali —penyelisihan sebagian kelompok
Qadariyah— karena adanya Ijma' Sahabat Radhiyallahu 'anhum atas kewajiban itu;
juga karena adanya kebutuhan terhadap Khalifah; agar bisa terikat dengan
hukum-hukum (Syariah), membela orang yang dizalimi dari orang yang zalim,
memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan
lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang Imam (Khalifah)… (Imam
al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb
asy-Syarâ’i, XIV/406).
Di dalam Kitab Râdd al-Muhtâr (IV/205) juga dinyatakan:
(قَوْلُهُ وَنَصْبُهُ) أَيْ اْلإِمَامِ الْمَفْهُومِ مِنْ الْمَقَامِ
(قَوْلُهُ أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ) أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ مِنْ
الْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِ، وَلِذَا قَالَ فِي الْعَقَائِدِ
النَّسَفِيَّةِ: وَالْمُسْلِمُونَ لاَ بُدَّ لَهُمْ مِنْ إمَامٍ، يَقُومُ
بِتَنْفِيذِ أَحْكَامِهِمْ؛ وَإِقَامَةِ حُدُودِهِمْ، وَسَدِّ ثُغُورِهِمْ،
وَتَجْهِيزِ جُيُوشِهِمْ؛ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ، وَقَهْرِ الْمُتَغَلِّبَةِ
وَالْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ، وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَاْلأَعْيَادِ،وَقَبُولِ
الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلَى الْحُقُوقِ؛ وَتَزْوِيجِ الصِّغَارِ
وَالصَّغَائِرِ الَّذِينَ لاَ أَوْلِيَاءَ لَهُمْ، وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ا هـ
(قَوْلُهُ فَلِذَا قَدَّمُوهُ إلَخْ) فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تُوُفِّيَ يَوْمَ اِلاثْنَيْنِ وَدُفِنَ يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ أَوْ لَيْلَةَ
اْلأَرْبِعَاءِ أَوْ يَوْمَ اْلأَرْبِعَاءِ ح عَنْ الْمَوَاهِبِ، وَهَذِهِ
السُّنَّةُ بَاقِيَةٌ إلَى اْلآنَ لَمْ يُدْفَنْ خَلِيفَةٌ حَتَّى يُوَلَّى
غَيْرُهُ
“(Perkataannya: wa nashbuhu) maksudnya adalah (mengangkat)
Imam al-A’zhâm (dan perkataannya: ahamm
al-wâjibât (kewajiban yang paling penting), yakni; mengangkat seorang
Imam (Khalifah) itu termasuk kewajiban yang paling penting karena banyak
kewajiban Syariah bergantung kepada dia. Oleh karena itu, Imam an-Nasafi dalam Al-‘Aqâ’id an-Nasafiyyah berkata, “Sudah
menjadi keharusan bagi kaum Muslim memiliki seorang Imam (Khalifah) yang
melaksanakan hukum-hukum Syariah mereka, menegakkan hudud atas mereka,
memperkuat benteng-benteng pertahanan, membentuk pasukan, mengambil zakat,
mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh serta para pembegal,
menegakkan shalat Jumat dan Hari Raya, menerima berbagai kesaksian yang
membuktikan berbagai hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak
memiliki wali serta membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh
karena itu para Sahabat mendahulukan (pengangkatan Imam/Khalifah…dst) maka
sesungguhnya Nabi ﷺ wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau
malam Rabu atau hari Rabu (h) dari Al-Mawâhib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga
sekarang, yaitu, Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang
lain (Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr,
IV/205).
Imam Al-Qurthubi,
seorang Ulama dari Mazhab Maliki. juga menyatakan:
…هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ
يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ
أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ
وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ…
“…Ayat ini adalah
dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang Imam atau Khalifah yang didengar
dan ditaati, yang dengan itu kalimat (persatuan umat) disatukan dan dengan itu
dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban
ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang
diriwayatkan dari al-Asham…” (Catatan: Al-Asham adalah orang Muktazilah yang
berpendapat bahwa mengangkat seorang Khalifah tidak wajib, namun dia dianggap
sesat dan menyimpang dari kesepakatan kaum Muslim)" (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Di dalam Kitab At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl
disebutkan:
قَالَ
إمَامُ الْحَرَمَيْنِ أَبُو الْمَعَالِي: لاَ يُسْتَدْرَكُ بِمُوجِبَاتِ
الْعُقُولِ نَصْبُ إمَامٍ وَلَكِنْ يَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ
وَأَدِلَّةِ السَّمْعِ وُجُوبُ نَصْبِ إمَامٍ فِي كُلِّ عَصْرٍ يَرْجِعُ إلَيْهِ
فِي الْمُلِمَّاتِ وَتُفَوَّضُ إلَيْهِ الْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ
Imam Al-Haramain Abu
al-Ma’ali berkata, “Mengangkat seorang Imam (Khalifah) tidaklah bisa ditetapkan
berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijma' kaum Muslim dan
dalil-dalil sam’iyyah. Kewajiban mengangkat seorang Imam (Khalifah) di setiap
masa untuk mengembalikan berbagai kesukaran kepada Imam dan menyerahkan
kemaslahatan umum kepada dia (Imam al-Muwaq, At-Tâj
wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131).
Imam Abu Zakariya
an-Nawawi, dari kalangan Ulama mazhab Syafi’i juga mengatakan:
وَأَجْمَعُوا
عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ
بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ اْلأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ:
لاَ يَجِبُ، وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ
فَبَاطِلاَنِ
“Para Ulama sepakat
bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajiban ini
ditetapkan berdasarkan Syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang
diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham
yang menyatakan bahwa mengangkat seorang Khalifah wajib namun berdasarkan akal,
bukan berdasarkan Syariah, maka dua pendapat ini batil.” (Imam Abu Zakariya
an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).
Di dalam Kitab Rawdhah ath-Thâlibîn wa ’Umdah al-Muftîn
disebutkan:
لاَ
بُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ
وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا
مَوَاضِعَهَا.قُلْتُ تَوْلَي اْلإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِدٌ تُعُيِّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ
يَبْتَدِئُوْهُ.
“Sudah menjadi sebuah
keharusan bagi umat untuk memiliki seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan
agama, menolong Sunnah, menolong orang-orang yang dizhalimi, memenuhi hak-hak
dan menempatkan hak-hak pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah
(Khilafah) adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi
Imam/Khalifah) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi Imam/Khalifah
dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak
meminta dirinya terlebih dulu.” (Imam an-Nawawi, Raudhâh
ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433).
Syaikh Al-Islam, Imam
Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari di dalam Kitab Fath al-Wahab juga menyatakan:
وَهِيَ
فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ
“Imam Al-A’dzham
(Khalifah) hukumnya adalah fardhu kifayah seperti halnya peradilan.” (Imam
Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb,
II/268).
Imam Umar bin Ali bin
Adil al-Hanbali, seorang Ulama mazhab Hanbali, menyatakan:
هَذِهِ
اْلآيَةُ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ
وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ
الْخَلِيْفَةِ، وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ إِلاَّ مَا
رُوِيَ عَنِ اْلأَصَمِّ، وَأَتْبَاعِهِ …
Berkata (Ibnu
Al-Khathib), “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil yang menunjukkan
kewajiban mengangkat seorang Imam atau Khalifah yang wajib didengar dan
ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan
hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu
antara para Ulama kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham dan pengikutnya…”
(Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, Tafsîr
al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Inilah pendapat yang
diketengahkan oleh Ulama Aswaja dari kalangan empat mazhab mengenai kewajiban
mengangkat seorang Khalifah. Seluruhnya sepakat bahwa mengangkat seorang
Khalifah atau Imam setelah berakhirnya zaman Kenabian adalah wajib.
Kewajiban Paling Penting
Mengangkat seorang
Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang paling penting. Allamah Ibnu
Hajar al-Haitami asy-Syafii, di dalam kitab Ash-Shawâ’iq
al-Muhriqah, menyatakan:
اِعْلَمْ
أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ
أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ
النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا
بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ
فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ
“Ketahuilah juga
sesungguhnya para Sahabat Rasulullah Saw. seluruhnya telah bersepakat bahwa
mengangkat seorang Imam (Khalifah) setelah berakhirnya zaman Kenabian adalah
wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang
paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut
daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah Saw. Perbedaan pendapat di
antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat Khalifah tidak merusak
ijma' mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).
Di dalam Kitab Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il
dinyatakan:
كَذَا
ذَكَرَهُ الطَّبَرِيُّ صَاحِبُ الرِّيَاضِ النَّضِرَةِ أَنَّ الصَّحَابَةَ
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ
مِنْ وَاجِبَاتِ اْلأَحْكَامِ بَلْ جَعَلُوهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ
اشْتَغَلُوا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِينِ لاَ يَقْدَحُ فِي اْلإِجْمَاعِ
الْمَذْكُورِ وَكَذَا مُخَالَفَةُ الْخَوَارِجِ وَنَحْوِهِمْ فِي الْوُجُوبِ
مِمَّا لاَ يُعْتَدُّ بِهِ.
“Demikianlah,
sebagaimana dituturkan oleh Imam ath-Thabari, pengarang Kitab Ar-Riyâdh an-Nadhrah, yang menyatakan para
Sahabat telah bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam/Khalifah setelah
berakhirnya zaman Kenabian termasuk di antara kewajiban-kewajiban hukum. Bahkan
mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan
diri dalam urusan itu dibandingkan menguburkan jenazah Rasulullah Saw. Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam
menentukan siapa yang paling berhak menduduki jabatan itu tidaklah menciderai
kesepakatan (ijma') tersebut. Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan
kelompok-kelompok yang sehaluan dengan mereka mengenai kewajiban (mengangkat
seorang Imam/Khalifah), termasuk perkara yang tidak perlu diperhitungkan.” (Abu
al-Hasan Nur ad-Din al-Mula al-Harawi al-Qari, Jam’u
al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219).
Imam Al-Haramain Abu
Al-Ma’ali Al-Juwaini dalam Kitab Al-Irsyâd
bahkan menyatakan:
اَلْكَلاَمُ
فِى اْلإِمَامَةِ لَيْسَ مِنْ أُصُوْلِ اْلاِعْتِقَادِ، وَالْخَطْرُ عَلَى مَنْ
يَزِلُ فِيْهِ يُرَبِّى عَلَى الْخَطْرِ عَلَى مَنْ يَجْهَلُ أَصْلاً مِنْ
أُصُوْلِ الدِّيْنِ
“Pembicaraan tentang
Imamah (sebenarnya) tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan). Namun,
bahaya atas orang yang tergelincir di dalamnya lebih besar dibandingkan atas
orang yang tidak mengerti salah satu bagian pokok-pokok agama (ushûl ad-dîn).”
[Ulama Aswaja Sepakat: Khilafah Wajib!, www.hizbut-Tahrir.or.id,
2015/08/04]
Jadi, sistem politik
atau sistem pemerintahan selain Khilafah (seperti republik demokrasi, komunis,
monarkhi, theokrasi, jahiliyah, dan lain-lain) itu jelas bukan Sunnah
Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin, serta bukan pula ajaran dari Rasulullah
Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itulah, sungguh sangat aneh bin ajaib
jika ada yang mengklaim diri paling Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), namun
justru ia sangat membenci dan sangat menolak Khilafah serta sangat anti
Khilafah tersebut..?!
Menolak Khilafah Berarti Bukan Aswaja
Oleh sebab itulah,
jika ada yang mengklaim diri sebagai Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), namun ia
sangat keras menolak dan memusuhi Khilafah atau sangat anti dengan Khilafah.
Bahkan ia sangat terdepan dalam menghalangi tegaknya Khilafah tersebut. Apatah
lagi bila ia sampai mengkriminalisasi dan memonsterisasi serta memframing
negatif Khilafah ajaran Islam tersebut dengan melabelinya sebagai ajaran
radikalisme, ekstrimisme dan terorisme, menuduh serta memfitnah Khilafah
memecah-belah umat.
Maka, itu artinya
membuktikan bahwasanya ia bukanlah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), melainkan
ia adalah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) gadungan atau Aswaja palsu bin hoax.
Jadi, sangat wajar dalam memoar para Syaikhul Azhar Kairo Mesir -yang notabene
Sesepuh dan punggawa utama Ulama Aswaja- sangat membela Khilafah dan memecat
Ali Abdurroziq dari jabatan salah seorang Syaikhul Azhar, karena Ali Abdurroziq
berfatwa tidak wajibnya Khilafah dan dalam Islam tidak ada Khilafah.
Dr. Ali Abdur Raziq
tercatat sebagai tokoh Muslim sekular pertama yang selalu menjadi rujukan
mereka yang sangat anti Khilafah untuk meragukan Khilafah, melalui bukunya yang
berjudul ‘al-Islam wa Ushul al-Hukm’ (1925). Ali Abdur Raziq mengatakan bahwa
Islam tidak memiliki konsepsi pemerintahan baku. Sehingga, Khilafah dianggap
bukanlah sistem pemerintahan yang diwajibkan oleh Islam.
Terhadap pendapat
kontroversial Ali Abdur Raziq tersebut, maka jajaran para Ulama al-Azhar di
masanya segera mengambil tindakan tegas. Ali Abdur Raziq dipanggil oleh Dewan
Ulama Al-Azhar dan bukunya dikaji oleh dua puluh empat rekannya di Al-Azhar.
Hasilnya, suara bulat memutuskan untuk mengecam dan menjatuhkan sanksi kepada
Ali Abdur Raziq.
Syaikh Prof. Dr.
al-Sayyid Taqiyuddin al-Sayyid menyusun sebuah buku berjudul “Radd Hay’at Kibar al-‘Ulama ‘ala Kitab al-Islam wa
Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq” yang memuat bantahan telak para Ulama
Al-Azhar terhadap pemikiran Ali Abdur Raziq. Di bagian akhir buku tersebut
merekam memoar sanksi atas Ali Abdur Raziq:
“Maka berdasarkan
sebab-sebab tersebut, kami jajaran Ulama Al-Azhar berdasarkan ijma
(kesepakatan) dua puluh empat Ulama dari Hay’at Kibar al-Ulama (Perkumpulan
Para Ulama Besar) menghukum Syaikh Ali Abdur Raziq yang merupakan salah seorang
Ulama Universitas Al-Azhar dan Hakim di Mahkamah Syar’iyah dengan
mengeluarkannya dari jajaran Ulama (yakni dikeluarkan dari jabatan Al-Azhar dan
Kehakiman). Sanksi hukuman ini ditetapkan di Dar al-Idarah al-‘Ammah al-Ma’ahid
al-Diniyyah, pada hari rabu, 22 muharam 1344 H./12
agustus 1925 M.” (Radd Hay’at Kibar al-‘Ulama
‘ala Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq)
Perlu ditegaskan pula
bahwa Ali Abdur Raziq menulis buku al-Islam wa Ushul al-Hukm pada tahun 1925 M.
Artinya, pada saat itu Khilafah telah runtuh. Sementara ketika Khilafah masih
tegak, tidak ada seorangpun Ulama yang meragukan Khilafah sebagai ajaran Islam
yang berlandaskan pada Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma' Sahabat. Sehingga, ketika
Ali Abdur Raziq muncul dengan pemikiran sekuler-liberalnya, maka para Ulama
menolak dengan tegas pemikiran itu dan Ali Abdur Raziq dinilai sebagai orang
yang tuli Syariah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthubi.
Oleh karena itu, bila
sekelas Syaikh Ali Abdur Raziq, Ulama Al-Azhar dan Hakim, akhirnya dinilai tuli
syariah, sehingga harus dipecat dari gelar dan jabatannya sebagai Ulama
Al-Azhar dan Hakim karena terbukti menentang kewajiban Khilafah, maka bagaimana
dengan mereka yang hari ini bertaqlid (mengikuti) pada pemikiran Ali Abdur
Raziq, seperti para pengasong anti Khilafah sekalipun mereka mengklaim diri
paling Aswaja. Jelasnya, mereka sejatinya benar-benar tuli Syariah.
Khatimah
Karena itulah, yang
namanya Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) asli nan hakiki itu pastilah ia sangat
setuju dengan Khilafah tersebut. Bahkan ia tentulah sangat mendukung dan sangat
membela Khilafah. Serta ia pun terdepan turut serta bersama seluruh umat Islam
sedunia berjuang bersama dalam dakwah menegakkan kembali Khilafah ajaran Islam
tersebut.
Agar kehidupan Islam
bisa berlanjut kembali dengan diterapkannya hukum-hukum Islam secara kaffah
dalam segala aspek kehidupan dan risalah Islam bisa disebarluaskan kembali ke
segala penjuru alam dengan dakwah dan jihad maka melaui tegaknya Khilafah tersebut
sehingga tersebar luaskanlah rahmah dan berkah Allah bagi seluruh penjuru dunia
dan alam semesta.
Maka, ada baiknya kita
renungkan kembali baik-baik nasihat mulia Rasulullah Saw. dalam sabdanya yang
diriwayatkan dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
menasehati kami dengan nasihat yang menyentuh, meneteslah air mata dan
bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata:
“Wahai Rasulullah,
seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan
pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada
Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah
kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di
antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan
sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para Khalifah yang
menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan
petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan
geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap
perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat." (HR. Abu
Dawud)
Wallahu a'lam bish shawab. []
#2020TumbangkanDemokrasi
#2020TegakkanKhilafah
#2020AbadKhilafah
#UmatButuhKhilafah
#KhilafahItuSolusi