Monday, July 13, 2020

Aswaja Itu Setuju Khilafah


Oleh: Zakariya al-Bantany


Pengertian Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja)

Al-Qur'an dan As-Sunnah merupakan wahyu Allah dan sumber hukum Islam yang utama. As-Sunnah merupakan penjelas Al-Qur’an dan perinci seluruh hukum-hukum Islam baik terkait akidah, ibadah hingga akhlaqiyah dan mu'amalah hingga daulah (Khilafah). As-Sunnah sendiri adalah perkataan, perbuatan dan diamnya (taqrir) Rasulullah Saw. terhadap Sahabatnya yang beliau ketahui.

Sahabat Nabi Saw. sendiri merupakan sebaik-baik generasi awal Islam yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hingga akhir hayat mereka, serta mereka pun pernah berjumpa, hidup bersama, berdakwah dan berjuang serta berjihad bersama Rasulullah Saw.  Serta mereka pun totalitas taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan totalitas pula ittiba' (mengadopsi dan mengikuti serta mengamalkan) Sunnah Rasulullah Saw. dalam segala aspek kehidupan khususnya pula dalam kehidupan bernegara (Daulah/Khilafah).

Karena itulah, ada Sahabat Nabi Saw. yang paling utama yang mendapat gelar Khulafaur Rasyidin (para Khalifah yang mendapat petunjuk dan di jalan lurus Islam serta konsisten mengikuti manhaj Kenabian Rasulullah Saw). Mereka adalah Khalifah Rasyidin yang pernah memimpin Khilafah ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti metode Kenabian/Khilafah Rasyidah yang pertama).

Yaitu 4 orang Sahabat utama Nabi Saw: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhum. Mereka adalah Khalifah pengganti dan penerus Rasulullah Saw. dalam melanjutkan roda pemerintahan Islam dan kekuasaan Islam Daulah Islam serta dalam melanjutkan kehidupan Islam yaitu mmenerapkan seluruh hukum-hukum Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, mengurus dan menjaga akidah Islam, umat Islam dan wilayah Islam, serta menyebarluaskan risalah Islam ke segala penjuru alam melalui dengan Daulah Khilafah Islamiyyah tersebut.

Adapun pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) sendiri, menurut Syaikh DR. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql adalah:

"Golongan kaum Muslimin yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut Ahlus Sunnah) dan bersatu di atas kebenaran (Al-Haq), bersatu di bawah para imam (Khalifah) dan tidak keluar dari jama’ah mereka (sehingga disebut wal jama’ah)." [Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, ab. Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo : Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16]

Pengertian serupa pula dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani di dalam kitabnya Al-Ghaniyah, yang menjelaskan tentang Ahlus Sunnah sebagai perbuatan yang mengikuti segala yang ditetapkan Nabi Saw. (maa sannahu Rasulullah Saw. ). Dan disebut wal Jama'ah, karana mengikuti (ittiba') ijma’ sahabat mengenai keabsahan Kekhilafahan empat Khalifah dari Khulafa Rasyidin) (maa ittifaqa ‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah al-aimmah al-arba’ah al-khulafa` ar-rasyidin). [Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992, hal. 31]

Jadi simplenya, Ahlus Sunnah wal Jama'ah artinya adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Saw, dan menjaga kesatuan jama'ah (Khilafah) kaum Muslim. Ini sebagaimana sabda Nabi Saw. yang menjelaskan:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

"Kalian harus berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin setelah aku. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim. Dia berkata, “Berdasarkan syarat dua kitab Shahih [Bukhari dan Muslim]”).

Orang yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin—yaitu mengikuti, mengamalkan dan menjaganya—inilah yang disebut Ahlus Sunnah. Adapun Al-Jama’ah adalah sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi Saw:

مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ حُجَّةَ لَهُ. وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة

"Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan (kepada Imam/Khalifah), maka dia pasti menghadap Allah pada Hari Kiamat tanpa hujjah (yang mendukungnya). Siapa saja yang mati, sementara di atas lehernya tidak ada bai'at (kepada Imam/Khalifah), maka dia mati dalam keadaan mati Jahiliah." (HR. Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.)

Makna hadits ini diperkuat juga oleh hadits lainnya, seperti:

مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَكَأَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ

"Siapa saja yang memisahkan diri dari Jama'ah kaum Muslim (Khilafah) sejengkal saja, maka dia seperti melepaskan diri ikatan Islam dari lehernya." (HR. Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra)

Ini menunjukkan kewajiban untuk menjaga Jama'ah (Khilafah) yang menyatukan kata/suara kaum Muslim. Sebaliknya, haram memisahkan diri dari jama'ah tersebut. Konotasi ini juga diperkuat oleh hadits Nabi Saw, yang dituturkan oleh Hudzaifah Al-Yaman. [Lihat: Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadits No. 4065, Dâr Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, t.t., II/1317]

Oleh karena itulah, Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) merupakan orang-orang atau jama'ah umat Islam yang berpegang teguh dan totalitas ittiba' (mengadopsi dan mengikuti) pada Sunnah Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin (Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah).

Dari pengertian Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) tersebut sangat jelas sekali bahwa ajaran Khilafah dengan sendirinya sangat melekat erat dengan Aswaja dan Khilafah tersebut itu pun satu paket dengan Aswaja. Khilafah merupakan prinsip dasar yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan Aswaja. Dengan demikian upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah adalah upaya mendistorsi, merusak, menghancurkan dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.

Karena itulah, Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) itu pada hakikatnya dalam seluruh aspek kehidupannya totalitas secara kaffah mengadopsi mengikuti (ittiba') dan menerapkan Sunnah Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin atau para Sahabat radhiyallahu 'anhum tersebut. Yaitu berislam secara kaffah dan terikat hukum Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dari A sampai Z atau dari akar hingga daunnya, ataupun dari urusan kamar mandi, urusan sumur, urusan dapur, urusan kasur, urusan pasar, urusan kantor, urusan masyarakat hingga urusan negara.

Sebab, Islam itu sendiri adalah agama (dien) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Rasulullah Saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Al-Khaliq (Allah SWT) atau Sang Maha Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan (hablun minallah) yaitu mencakup perkara akidah dan ibadah; mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun minannafsi) yaitu mencakup perkara pakaian, akhlak, makanan dan minuman; dan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannaas) yaitu mencakup perkara politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan.

Maka, Ahlussunnah wal Jama'ah dalam level negara tentunya sangat jelas hanya mengadopsi dan menerapkan sistem politik Islam yakni sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah Islamiyyah ajaran Islam dan warisan Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Pemimpinnya bernama Khalifah, bentuk jama'nya Khulafa'.

Khilafah itu sendiri pengertiannya adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Menegakkan Khilafah hukumnya wajib bagi seluruh kaum Muslimin. Melaksanakan kewajiban ini sebagaimana melaksanakan kewajiban lain yang telah dibebankan Allah SWT kepada kaum Muslimin, adalah suatu keharusan yang menuntut pelaksanaan tanpa tawar-menawar lagi dan tidak pula ada kompromi. Melalaikannya adalah salah-satu perbuatan maksiat yang terbesar dan Allah akan mengazab para pelakunya dengan azab yang sangat pedih.

Di mana Khilafah itu sendiri berfungsi sebagai thariqah Islam (metode menerapkan, menjaga dan menyebarluaskan Islam) dan sekaligus taajul furudh (mahkota kewajiban) yaitu pelaksana Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, pemersatu umat (ukhuwwah Islamiyyah), pengurus dan penjaga akidah Islam dan umat Islam serta wilayah Islam, syiar dakwah Islam dan jihad Islam ke seluruh penjuru alam.

Jadi, sangat wajar bila Ulama Aswaja sendiri bersepakat wajibnya Khilafah tersebut. Dan mereka pun banyak membahas dan menjelaskan bab perihal Khilafah di kitab-kitab fiqh. Bahkan mereka pun ada yang memasukkan dan membahas serta menjelaskan Khilafah tersebut dalam kitab-kitab aqidah. kitab-kitab yang membahaskan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab aqidah itu, semuanya menetapkan wajibnya Khilafah. Dalam kitab Al Fiqhul Akbar [Bandung: Pustaka, 1988], karya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H), terdapat fasal yang menegaskan kewajiban mengangkat imam (Khalifah) (fasal 61-62)].

Begitupula, dalam kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H) menerangkan 15 prinsip Ahlus Sunah Wal Jama'ah. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah (Imamah). Kata Abdul Qahir Al-Baghdadi, ”Inna al-imaamah fardhun ‘ala al-ummah.” (sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat). [Lihat: Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam kitab Al-Masail Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal. 70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan, “Mengangkat Imam [khalifah] adalah wajib ke atas umat Islam.” Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 94 pada bab Masalah fi Al-Imamah.]

Hal yang sama juga terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah, karya Sayyid Husain Efendi, hal.189, beliau mengatakan,”Ketahuilah bahwa wajib atas kaum muslimin secara syara’ untuk mengangkat seorang Khalifah…” [i’lam annahu yajibu ‘ala al-Muslimin syar’an nashb al-Khalifah…]


Ulama Aswaja Setuju Khilafah

Salah satu ajaran utama Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah) adalah Khilafah sebagai tuntutan akidah tauhid Islam sekaligus puncak tauhid itu sendiri dan puncak dakwah Islam.

Jumhur Ulama Aswaja bersepakat wajibnya Khilafah. Karena Khilafah hukumnya wajib menurut hukum syara' baik Al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma' Sahabat.

Mengangkat seorang Khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswaja). Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka.

Imam ‘Alauddin al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi menyatakan:

وَ لِأَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ اْلأَعْظَمِ فَرْضٌ، بِلاَ خِلاَفٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ، وَلاَ عِبْرَةَ -بِخِلاَفِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ-؛ ِلإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ؛ لِتَقَيُّدِ اْلأَحْكَامِ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لاَ تَقُومُ إلاَّ بِإِمَامٍ

“Sebab, mengangkat Imam al-A’zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali —penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah— karena adanya Ijma' Sahabat Radhiyallahu 'anhum atas kewajiban itu; juga karena adanya kebutuhan terhadap Khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (Syariah), membela orang yang dizalimi dari orang yang zalim, memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang Imam (Khalifah)… (Imam al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i, XIV/406).

Di dalam Kitab Râdd al-Muhtâr (IV/205) juga dinyatakan:

(قَوْلُهُ وَنَصْبُهُ) أَيْ اْلإِمَامِ الْمَفْهُومِ مِنْ الْمَقَامِ (قَوْلُهُ أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ) أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ مِنْ الْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِ، وَلِذَا قَالَ فِي الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ: وَالْمُسْلِمُونَ لاَ بُدَّ لَهُمْ مِنْ إمَامٍ، يَقُومُ بِتَنْفِيذِ أَحْكَامِهِمْ؛ وَإِقَامَةِ حُدُودِهِمْ، وَسَدِّ ثُغُورِهِمْ، وَتَجْهِيزِ جُيُوشِهِمْ؛ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ، وَقَهْرِ الْمُتَغَلِّبَةِ وَالْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ، وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَاْلأَعْيَادِ،وَقَبُولِ الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلَى الْحُقُوقِ؛ وَتَزْوِيجِ الصِّغَارِ وَالصَّغَائِرِ الَّذِينَ لاَ أَوْلِيَاءَ لَهُمْ، وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ا هـ (قَوْلُهُ فَلِذَا قَدَّمُوهُ إلَخْ) فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ اِلاثْنَيْنِ وَدُفِنَ يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ أَوْ لَيْلَةَ اْلأَرْبِعَاءِ أَوْ يَوْمَ اْلأَرْبِعَاءِ ح عَنْ الْمَوَاهِبِ، وَهَذِهِ السُّنَّةُ بَاقِيَةٌ إلَى اْلآنَ لَمْ يُدْفَنْ خَلِيفَةٌ حَتَّى يُوَلَّى غَيْرُهُ

“(Perkataannya: wa nashbuhu) maksudnya adalah (mengangkat) Imam al-A’zhâm (dan perkataannya: ahamm al-wâjibât (kewajiban yang paling penting), yakni; mengangkat seorang Imam (Khalifah) itu termasuk kewajiban yang paling penting karena banyak kewajiban Syariah bergantung kepada dia. Oleh karena itu, Imam an-Nasafi dalam Al-‘Aqâ’id an-Nasafiyyah berkata, “Sudah menjadi keharusan bagi kaum Muslim memiliki seorang Imam (Khalifah) yang melaksanakan hukum-hukum Syariah mereka, menegakkan hudud atas mereka, memperkuat benteng-benteng pertahanan, membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh serta para pembegal, menegakkan shalat Jumat dan Hari Raya, menerima berbagai kesaksian yang membuktikan berbagai hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak memiliki wali serta membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh karena itu para Sahabat mendahulukan (pengangkatan Imam/Khalifah…dst) maka sesungguhnya Nabi ﷺ wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu (h) dari Al-Mawâhib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain (Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr, IV/205).

Imam Al-Qurthubi, seorang Ulama dari Mazhab Maliki. juga menyatakan:

هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ

“…Ayat ini adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang Imam atau Khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat (persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham…” (Catatan: Al-Asham adalah orang Muktazilah yang berpendapat bahwa mengangkat seorang Khalifah tidak wajib, namun dia dianggap sesat dan menyimpang dari kesepakatan kaum Muslim)" (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Di dalam Kitab At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl disebutkan:
  
قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ أَبُو الْمَعَالِي: لاَ يُسْتَدْرَكُ بِمُوجِبَاتِ الْعُقُولِ نَصْبُ إمَامٍ وَلَكِنْ يَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَأَدِلَّةِ السَّمْعِ وُجُوبُ نَصْبِ إمَامٍ فِي كُلِّ عَصْرٍ يَرْجِعُ إلَيْهِ فِي الْمُلِمَّاتِ وَتُفَوَّضُ إلَيْهِ الْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ

Imam Al-Haramain Abu al-Ma’ali berkata, “Mengangkat seorang Imam (Khalifah) tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijma' kaum Muslim dan dalil-dalil sam’iyyah. Kewajiban mengangkat seorang Imam (Khalifah) di setiap masa untuk mengembalikan berbagai kesukaran kepada Imam dan menyerahkan kemaslahatan umum kepada dia (Imam al-Muwaq, At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131).

Imam Abu Zakariya an-Nawawi, dari kalangan Ulama mazhab Syafi’i juga mengatakan:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ اْلأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَجِبُ، وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ فَبَاطِلاَنِ

“Para Ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan Syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang Khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan Syariah, maka dua pendapat ini batil.” (Imam Abu Zakariya an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).

Di dalam Kitab Rawdhah ath-Thâlibîn wa ’Umdah al-Muftîn disebutkan:
  
لاَ بُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا.قُلْتُ تَوْلَي اْلإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِدٌ تُعُيِّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.

“Sudah menjadi sebuah keharusan bagi umat untuk memiliki seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, menolong orang-orang yang dizhalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi Imam/Khalifah) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi Imam/Khalifah dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih dulu.” (Imam an-Nawawi, Raudhâh ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433).

Syaikh Al-Islam, Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari di dalam Kitab Fath al-Wahab juga menyatakan:

وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ

“Imam Al-A’dzham (Khalifah) hukumnya adalah fardhu kifayah seperti halnya peradilan.” (Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb, II/268).

Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, seorang Ulama mazhab Hanbali, menyatakan:

هَذِهِ اْلآيَةُ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ، وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلأَصَمِّ، وَأَتْبَاعِهِ

Berkata (Ibnu Al-Khathib), “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Imam atau Khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para Ulama kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham dan pengikutnya…” (Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).

Inilah pendapat yang diketengahkan oleh Ulama Aswaja dari kalangan empat mazhab mengenai kewajiban mengangkat seorang Khalifah. Seluruhnya sepakat bahwa mengangkat seorang Khalifah atau Imam setelah berakhirnya zaman Kenabian adalah wajib.


Kewajiban Paling Penting

Mengangkat seorang Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ

“Ketahuilah juga sesungguhnya para Sahabat Rasulullah Saw. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) setelah berakhirnya zaman Kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah Saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat Khalifah tidak merusak ijma' mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).

Di dalam Kitab Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il dinyatakan:

كَذَا ذَكَرَهُ الطَّبَرِيُّ صَاحِبُ الرِّيَاضِ النَّضِرَةِ أَنَّ الصَّحَابَةَ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ مِنْ وَاجِبَاتِ اْلأَحْكَامِ بَلْ جَعَلُوهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِينِ لاَ يَقْدَحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُورِ وَكَذَا مُخَالَفَةُ الْخَوَارِجِ وَنَحْوِهِمْ فِي الْوُجُوبِ مِمَّا لاَ يُعْتَدُّ بِهِ.

“Demikianlah, sebagaimana dituturkan oleh Imam ath-Thabari, pengarang Kitab Ar-Riyâdh an-Nadhrah, yang menyatakan para Sahabat telah bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam/Khalifah setelah berakhirnya zaman Kenabian termasuk di antara kewajiban-kewajiban hukum. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan menguburkan jenazah Rasulullah Saw.  Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling berhak menduduki jabatan itu tidaklah menciderai kesepakatan (ijma') tersebut. Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan mereka mengenai kewajiban (mengangkat seorang Imam/Khalifah), termasuk perkara yang tidak perlu diperhitungkan.” (Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219).

Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini dalam Kitab Al-Irsyâd bahkan menyatakan:

اَلْكَلاَمُ فِى اْلإِمَامَةِ لَيْسَ مِنْ أُصُوْلِ اْلاِعْتِقَادِ، وَالْخَطْرُ عَلَى مَنْ يَزِلُ فِيْهِ يُرَبِّى عَلَى الْخَطْرِ عَلَى مَنْ يَجْهَلُ أَصْلاً مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ

“Pembicaraan tentang Imamah (sebenarnya) tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan). Namun, bahaya atas orang yang tergelincir di dalamnya lebih besar dibandingkan atas orang yang tidak mengerti salah satu bagian pokok-pokok agama (ushûl ad-dîn).” [Ulama Aswaja Sepakat: Khilafah Wajib!, www.hizbut-Tahrir.or.id, 2015/08/04]

Jadi, sistem politik atau sistem pemerintahan selain Khilafah (seperti republik demokrasi, komunis, monarkhi, theokrasi, jahiliyah, dan lain-lain) itu jelas bukan Sunnah Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin, serta bukan pula ajaran dari Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itulah, sungguh sangat aneh bin ajaib jika ada yang mengklaim diri paling Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), namun justru ia sangat membenci dan sangat menolak Khilafah serta sangat anti Khilafah tersebut..?!


Menolak Khilafah Berarti Bukan Aswaja

Oleh sebab itulah, jika ada yang mengklaim diri sebagai Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), namun ia sangat keras menolak dan memusuhi Khilafah atau sangat anti dengan Khilafah. Bahkan ia sangat terdepan dalam menghalangi tegaknya Khilafah tersebut. Apatah lagi bila ia sampai mengkriminalisasi dan memonsterisasi serta memframing negatif Khilafah ajaran Islam tersebut dengan melabelinya sebagai ajaran radikalisme, ekstrimisme dan terorisme, menuduh serta memfitnah Khilafah memecah-belah umat.

Maka, itu artinya membuktikan bahwasanya ia bukanlah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), melainkan ia adalah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) gadungan atau Aswaja palsu bin hoax. Jadi, sangat wajar dalam memoar para Syaikhul Azhar Kairo Mesir -yang notabene Sesepuh dan punggawa utama Ulama Aswaja- sangat membela Khilafah dan memecat Ali Abdurroziq dari jabatan salah seorang Syaikhul Azhar, karena Ali Abdurroziq berfatwa tidak wajibnya Khilafah dan dalam Islam tidak ada Khilafah.

Dr. Ali Abdur Raziq tercatat sebagai tokoh Muslim sekular pertama yang selalu menjadi rujukan mereka yang sangat anti Khilafah untuk meragukan Khilafah, melalui bukunya yang berjudul ‘al-Islam wa Ushul al-Hukm’ (1925). Ali Abdur Raziq mengatakan bahwa Islam tidak memiliki konsepsi pemerintahan baku. Sehingga, Khilafah dianggap bukanlah sistem pemerintahan yang diwajibkan oleh Islam.

Terhadap pendapat kontroversial Ali Abdur Raziq tersebut, maka jajaran para Ulama al-Azhar di masanya segera mengambil tindakan tegas. Ali Abdur Raziq dipanggil oleh Dewan Ulama Al-Azhar dan bukunya dikaji oleh dua puluh empat rekannya di Al-Azhar. Hasilnya, suara bulat memutuskan untuk mengecam dan menjatuhkan sanksi kepada Ali Abdur Raziq.

Syaikh Prof. Dr. al-Sayyid Taqiyuddin al-Sayyid menyusun sebuah buku berjudul “Radd Hay’at Kibar al-‘Ulama ‘ala Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq” yang memuat bantahan telak para Ulama Al-Azhar terhadap pemikiran Ali Abdur Raziq. Di bagian akhir buku tersebut merekam memoar sanksi atas Ali Abdur Raziq:

“Maka berdasarkan sebab-sebab tersebut, kami jajaran Ulama Al-Azhar berdasarkan ijma (kesepakatan) dua puluh empat Ulama dari Hay’at Kibar al-Ulama (Perkumpulan Para Ulama Besar) menghukum Syaikh Ali Abdur Raziq yang merupakan salah seorang Ulama Universitas Al-Azhar dan Hakim di Mahkamah Syar’iyah dengan mengeluarkannya dari jajaran Ulama (yakni dikeluarkan dari jabatan Al-Azhar dan Kehakiman). Sanksi hukuman ini ditetapkan di Dar al-Idarah al-‘Ammah al-Ma’ahid al-Diniyyah, pada hari rabu, 22 muharam 1344 H./12 agustus 1925 M.” (Radd Hay’at Kibar al-‘Ulama ‘ala Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq)

Perlu ditegaskan pula bahwa Ali Abdur Raziq menulis buku al-Islam wa Ushul al-Hukm pada tahun 1925 M. Artinya, pada saat itu Khilafah telah runtuh. Sementara ketika Khilafah masih tegak, tidak ada seorangpun Ulama yang meragukan Khilafah sebagai ajaran Islam yang berlandaskan pada Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma' Sahabat. Sehingga, ketika Ali Abdur Raziq muncul dengan pemikiran sekuler-liberalnya, maka para Ulama menolak dengan tegas pemikiran itu dan Ali Abdur Raziq dinilai sebagai orang yang tuli Syariah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthubi.

Oleh karena itu, bila sekelas Syaikh Ali Abdur Raziq, Ulama Al-Azhar dan Hakim, akhirnya dinilai tuli syariah, sehingga harus dipecat dari gelar dan jabatannya sebagai Ulama Al-Azhar dan Hakim karena terbukti menentang kewajiban Khilafah, maka bagaimana dengan mereka yang hari ini bertaqlid (mengikuti) pada pemikiran Ali Abdur Raziq, seperti para pengasong anti Khilafah sekalipun mereka mengklaim diri paling Aswaja. Jelasnya, mereka sejatinya benar-benar tuli Syariah.


Khatimah

Karena itulah, yang namanya Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) asli nan hakiki itu pastilah ia sangat setuju dengan Khilafah tersebut. Bahkan ia tentulah sangat mendukung dan sangat membela Khilafah. Serta ia pun terdepan turut serta bersama seluruh umat Islam sedunia berjuang bersama dalam dakwah menegakkan kembali Khilafah ajaran Islam tersebut.

Agar kehidupan Islam bisa berlanjut kembali dengan diterapkannya hukum-hukum Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dan risalah Islam bisa disebarluaskan kembali ke segala penjuru alam dengan dakwah dan jihad maka melaui tegaknya Khilafah tersebut sehingga tersebar luaskanlah rahmah dan berkah Allah bagi seluruh penjuru dunia dan alam semesta.

Maka, ada baiknya kita renungkan kembali baik-baik nasihat mulia Rasulullah Saw. dalam sabdanya yang diriwayatkan dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
  
“Rasulullah Saw. menasehati kami dengan nasihat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata:
“Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para Khalifah yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud)

Wallahu a'lam bish shawab. []


#2020TumbangkanDemokrasi
#2020TegakkanKhilafah
#2020AbadKhilafah
#UmatButuhKhilafah
#KhilafahItuSolusi


Channel Youtube Kopi Nikmat

Channel Youtube Kopi Nikmat
(klik gambar logo)

Fanpage di Facebook

Popular Posts

Search This Blog