Oleh: Zakariya
al-Bantany
Dalam Islam seorang
Muslim memiliki kewajiban menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya,
menjadi tanggung-jawabnya dalam menafkahi mereka baik lahir maupun bathin.
Dan yang paling
bertanggung-jawab menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya dalam sebuah
keluarga adalah pihak suami/ayah (laki-laki) sebagai kepala rumah tangga bagi
isteri dan anak-anaknya yang merupakan ahlul warisnya yang menjadi tanggung
jawabnya dunia-akhirat khususnya terkait nafkah lahir maupun bathin.
Ada dua faktor yang
menjadikan seorang suami/ayah (laki-laki) sebagai pihak utama yang memiliki
wewenang kendali atas kepemimpinannya di dalam institusi keluarga. Yaitu:
Pertama, karena Allah SWT telah menetapkan
melebihkan kaum lelaki (para suami) di atas kaum wanita (para istri).
Kedua, karena para suamilah yang paling
bertanggung-jawab menafkahi istri dan anak-anaknya, dan menjadi
penanggung-jawab atas kehidupan mereka baik di dunia maupun di Akhirat.
Kedua faktor tersebut
telah termaktub dalam Kitabullah (Al-Qur’an). Sebagaimana dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka." (QS. An-Nisaa': 34)
Ketika menafsirkan
ayat dia atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “(Dengan sebab harta yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan
tanggungan yang Allâh Azza wa Jalla
wajibkan atas mereka, seperti tersebut dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya,
maka, pria lebih utama daripada wanita serta memiliki kelebihan dan keunggulan
di atas wanita, sehingga pantas menjadi pemimpin bagi wanita.” [Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, 1/610]
Pengertian
Nafkah
Yang dimaksud dengan
nafkah adalah sesuatu yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri atau orang lain, baik itu makanan, minuman dan lain-lain. [Subulus Salâm, 3/414. Kutipan dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyatu al-Muyassarah fii Fiqhil
Kitâbi was Sunnatil Muthahharah, 5/180]
Hukum Menafkahi
Keluarga
Menafkahi keluarga
hukumnya wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits:
1. Seperti dalam
firman Allah SWT:
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf." (Al-Baqarah [2]: 233)
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Artinya menjadi
kewajiban bagi bapak (ayah) si anak untuk menafkahi dan memberi pakaian kepada
ibu-ibu yang menyusui dengan cara yang baik-baik. Maksudnya sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku untuk wanita seperti mereka di negeri mereka, tanpa
berlebihan atau terlalu sedikit, menurut kemampuan (ekonomi) si bapak: kaya,
sedang, atau kurang mampu. Sebagaimana firman Allah SWT:
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan."
(QS. Ath-Thalaq [65]: 7)
Dari sini, tampak
jelas, faktor penyebab diwajibkannya seorang lelaki sebagai kepala rumah tangga
untuk bekerja dan mencari penghasilan. Ia bekerja tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan pribadi, akan tetapi, juga untuk mencukupi kebutuhan nafkah istri dan
anak-anak mereka. Kewajiban dan tugas mencari nafkah ini hanya menjadi beban
suami saja, tidak menyertakan istri, apalagi anak-anak.
2. Juga dalam hadits, Rasulullah Saw. bersabda:
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ
"Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi
mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik." (HR. Muslim, no.1218)
Dalam hadits yang lain Rasulullah Saw. pun bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ
يَقُوتُ
"Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang menelantarkan orang
yang menjadi tanggungannya." (HR.
Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, al-Hakim dan
ath-Thabarani)
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang
berbeda. Rasulullah Saw. bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ
يَمْلِكُ قُوتَهُ
"Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang tidak memberi nafkah
orang yang berada dalam tanggungannya."
(HR. Muslim dan Ibnu Hibban)
As-Sindi seperti dikutip oleh Abu Thayyib di dalam ‘Awn al-Ma’bûd mengatakan: Frasa “man yaqûtu” dari
kata qâtahu, yakni seseorang memberi dia makan. Mungkin dijadikan
berasal dari at-taf’îl. Itu sesuai dengan riwayat: man yuqîtu, dari kata aqâta, yakni
orang-orang yang nafkahnya menjadi keharusannya. Mereka adalah istrinya,
keluarganya dan hamba sahayanya.
Al-Manawi di dalam Faydh al-Qadîr
menjelaskan: “man
yaqûtu” yakni orang yang harus ditanggung
makannya. Az-Zamakhsyari mengatakan: qâtahu yaqûtuhu jika
dia memberinya makan … wa
aqâta ‘alayhi maka dia muqîtun jika dia menjaga dan mengontrolnya.
Al-Manawi mengatakan: Ini gamblang tentang kewajiban
menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungan seseorang karena dikaitkan dengan
dosa jika ditinggalkan. Namun demikian, hal itu terbayang pada orang yang
berkelapangan, bukan orang yang kesusahan. Karena itu orang yang mampu berusaha
menafkahi keluarganya hendaknya tidak menelantarkan mereka. Jadi bersamaan
dengan kekhawatiran atas keterlantaran mereka, dia dipaksa mencari rezeki untuk
mereka. Namun demikian, tidaklah mencari rezeki untuk mereka kecuali dalam
kadar kemampuan.
Di antara hukum yang ditunjukkan oleh hadits tersebut
adalah kewajiban seseorang menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Ash-Shan’ani di dalam Subûl
as-Salâm mengatakan: “Hadis tersebut
merupakan dalil atas kewajiban nafkah bagi manusia untuk orang-orang yang ada
dalam tanggungannya. Sebab tidak menjadi dosa kecuali meninggalkan apa yang
telah diwajibkan atas dirinya…Orang-orang yang menjadi tanggungannya dan
orang-orang yang dia tanggung makannya adalah mereka yang wajib dinafkahi yaitu
istrinya, anak-anaknya dan hamba sahayanya…”
Hadits tersebut menyatakan kewajiban nafkah berupa
makanan. Namun demikian, yang wajib bukan hanya makanan, tetapi semua kebutuhan
pokok dan kebutuhan lainnya untuk hidup secara ma’ruf (layak)
sesuai kelayakan di dalam masyarakat. Allah SWT berfirman:
…وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ
رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا
وُسۡعَهَاۚ …
"Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para
ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah
[2]: 233)
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ
"Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kalian tinggal
menurut kemampuan kalian." (QS.
Ath-Thalaq [65]: 6)
Nafkah ini juga mencakup kebutuhan lainnya menurut
kehidupan yang layak di masyarakat. Ini ditunjukkan oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra. Disebutkan bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri Abu
Sufyan, pernah berkata kepada Nabi Saw., “Sungguh Abu Sufyan orang yang pelit.
Dia tidak memberiku nafkah yang mencukupi diriku dan anakku, kecuali apa yang
aku ambil dari dia, sementara dia tidak tahu.”
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Hindun
bertanya, “Apakah ada dosa atas diriku jika aku mengambil sesuatu dari
hartanya.”
Rasulullah Saw. kemudian bersabda kepada Hindun:
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ الْمَعْرُوفِ
"Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu secara layak." (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu
Majah dan Ahmad)
Ungkapan: “Apa yang mencukupi dirimu dan anakmu secara
layak” bermakna mutlak dan bersifat umum; hanya dibatasi dengan batasan bil makrûf (secara layak). Hal itu menunjukkan bahwa apa yang
mencukupi itu tidak terbatas pada kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan
sandang; tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lainnya yang layak sebagaimana
kelayakan di dalam masyarakat.
Hadits terakhir ini juga menunjukkan bahwa pemenuhan
kebutuhan secara layak merupakan kewajiban seorang laki-laki (ayah/suami)
sekaligus merupakan hak istri dan anak (juga siapa saja yang manjadi tanggungan
suami).
Ketika tidak terpenuhi, istri boleh mengambil haknya
itu untuk kecukupan dia dan anak-anaknya dari harta suaminya meski tanpa
sepengetahuan atau izin dari suaminya itu. Hak itu tentu tidak terbatas untuk
istri saja, tetapi juga untuk anak dan siapa saja yang nafkahnya menjadi
tanggungan orang itu, atas dasar kesamaan hak mereka.
Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pemenuhan
kebutuhan pokok dan kebutuhan untuk hidup secara layak di masyarakat. Kebolehan
istri mengambil harta suaminya tanpa izin atau sepengetahuan suami, untuk
pemenuhan kebutuhan dia dan anaknya, itu menunjukkan hukum Islam atas jaminan
pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu. Ini baru sebagiannya.
Untuk memastikan pemenuhan nafkah untuk keluarga itu,
Islam antara lain mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja. Dorongan
sangat besar juga diberikan untuk pemenuhan nafkah keluarga itu. Islam telah
menetapkan bahwa pembelanjaan untuk nafkah keluarga lebih agung pahalanya
dibandingkan dengan infaq
fi sabilillah, membebaskan budak dan
sedekah kepada orang miskin. Rasul Saw. bersabda:
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ الله
وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى
مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى
أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
"Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah,
satu dinar yang engkau belanjakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang
engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan
terhadap keluargamu, yang paling agung pahalanya adalah yang engkau nafkahkan
terhadap keluargamu." (HR Muslim)
Inilah beberapa dasar mengenai kewajiban seorang
laki-laki atau suami atau ayah untuk menafkahi keluarganya. Seorang suami
(laki-laki/suami) sepatutnya mengembannya dengan penuh tanggung-jawab dan penuh
keikhlasan hanya mengharapkan ridha Allah semata. Ia tidak boleh menyia-nyiakan
amanah keluarganya tersebut, dengan mengganggur tanpa pekerjaan apalagi jika
sampai ia mengemis di jalanan.
Bila ia tidak bekerja, dari mana ia akan menafkahi
keluarganya tersebut? Bila sang kepala rumah tangga tidak memberi dan menafkahi
keluarganya tersebut, lantas kepada siapa isteri dan anak-anaknya serta
orang-orang yang menjadi tanggungannya meminta nafkah untuk keberlangsungan
hidup mereka? Dan tentu berdosa besarlah bagi seorang laki-laki (suami/ayah)
yang menelantarkan atau tidak menafkahi keluarganya (isteri, anak-anaknya dan
siapa saja yang menjadi tanggungannya) tersebut.
Wallahu a'lam bish shawab. []