Friday, July 17, 2020

Tanggung Jawab Nafkah



Oleh: Zakariya al-Bantany


Dalam Islam seorang Muslim memiliki kewajiban menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggung-jawabnya dalam menafkahi mereka baik lahir maupun bathin.

Dan yang paling bertanggung-jawab menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya dalam sebuah keluarga adalah pihak suami/ayah (laki-laki) sebagai kepala rumah tangga bagi isteri dan anak-anaknya yang merupakan ahlul warisnya yang menjadi tanggung jawabnya dunia-akhirat khususnya terkait nafkah lahir maupun bathin.

Ada dua faktor yang menjadikan seorang suami/ayah (laki-laki) sebagai pihak utama yang memiliki wewenang kendali atas kepemimpinannya di dalam institusi keluarga. Yaitu:

Pertama, karena Allah SWT telah menetapkan melebihkan kaum lelaki (para suami) di atas kaum wanita (para istri).

Kedua, karena para suamilah yang paling bertanggung-jawab menafkahi istri dan anak-anaknya, dan menjadi penanggung-jawab atas kehidupan mereka baik di dunia maupun di Akhirat.

Kedua faktor tersebut telah termaktub dalam Kitabullah (Al-Qur’an). Sebagaimana dalam firman-Nya:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisaa': 34)

Ketika menafsirkan ayat dia atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Dengan sebab harta yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas mereka, seperti tersebut dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya, maka, pria lebih utama daripada wanita serta memiliki kelebihan dan keunggulan di atas wanita, sehingga pantas menjadi pemimpin bagi wanita.” [Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, 1/610]


Pengertian Nafkah

Yang dimaksud dengan nafkah adalah sesuatu yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau orang lain, baik itu makanan, minuman dan lain-lain. [Subulus Salâm, 3/414. Kutipan dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyatu al-Muyassarah fii Fiqhil Kitâbi was Sunnatil Muthahharah, 5/180]


Hukum Menafkahi Keluarga

Menafkahi keluarga hukumnya wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits:

1. Seperti dalam firman Allah SWT:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf." (Al-Baqarah [2]: 233)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Artinya menjadi kewajiban bagi bapak (ayah) si anak untuk menafkahi dan memberi pakaian kepada ibu-ibu yang menyusui dengan cara yang baik-baik. Maksudnya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku untuk wanita seperti mereka di negeri mereka, tanpa berlebihan atau terlalu sedikit, menurut kemampuan (ekonomi) si bapak: kaya, sedang, atau kurang mampu. Sebagaimana firman Allah SWT:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (QS. Ath-Thalaq [65]: 7)

Dari sini, tampak jelas, faktor penyebab diwajibkannya seorang lelaki sebagai kepala rumah tangga untuk bekerja dan mencari penghasilan. Ia bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi, akan tetapi, juga untuk mencukupi kebutuhan nafkah istri dan anak-anak mereka. Kewajiban dan tugas mencari nafkah ini hanya menjadi beban suami saja, tidak menyertakan istri, apalagi anak-anak.

2. Juga dalam hadits, Rasulullah Saw. bersabda:

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

"Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik." (HR. Muslim, no.1218)

Dalam hadits yang lain Rasulullah Saw. pun bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

"Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya." (HR. Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, al-Hakim dan ath-Thabarani)

Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda. Rasulullah Saw. bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

"Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang tidak memberi nafkah orang yang berada dalam tanggungannya." (HR. Muslim dan Ibnu Hibban)

As-Sindi seperti dikutip oleh Abu Thayyib di dalam ‘Awn al-Ma’bûd mengatakan: Frasa “man yaqûtu” dari kata qâtahu, yakni seseorang memberi dia makan. Mungkin dijadikan berasal dari at-taf’îl. Itu sesuai dengan riwayat: man yuqîtu, dari kata aqâta, yakni orang-orang yang nafkahnya menjadi keharusannya. Mereka adalah istrinya, keluarganya dan hamba sahayanya.

Al-Manawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan: “man yaqûtu” yakni orang yang harus ditanggung makannya. Az-Zamakhsyari mengatakan: qâtahu yaqûtuhu jika dia memberinya makan … wa aqâta ‘alayhi maka dia muqîtun jika dia menjaga dan mengontrolnya.

Al-Manawi mengatakan: Ini gamblang tentang kewajiban menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungan seseorang karena dikaitkan dengan dosa jika ditinggalkan. Namun demikian, hal itu terbayang pada orang yang berkelapangan, bukan orang yang kesusahan. Karena itu orang yang mampu berusaha menafkahi keluarganya hendaknya tidak menelantarkan mereka. Jadi bersamaan dengan kekhawatiran atas keterlantaran mereka, dia dipaksa mencari rezeki untuk mereka. Namun demikian, tidaklah mencari rezeki untuk mereka kecuali dalam kadar kemampuan.

Di antara hukum yang ditunjukkan oleh hadits tersebut adalah kewajiban seseorang menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Ash-Shan’ani di dalam Subûl as-Salâm mengatakan: “Hadis tersebut merupakan dalil atas kewajiban nafkah bagi manusia untuk orang-orang yang ada dalam tanggungannya. Sebab tidak menjadi dosa kecuali meninggalkan apa yang telah diwajibkan atas dirinya…Orang-orang yang menjadi tanggungannya dan orang-orang yang dia tanggung makannya adalah mereka yang wajib dinafkahi yaitu istrinya, anak-anaknya dan hamba sahayanya…”

Hadits tersebut menyatakan kewajiban nafkah berupa makanan. Namun demikian, yang wajib bukan hanya makanan, tetapi semua kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya untuk hidup secara ma’ruf (layak) sesuai kelayakan di dalam masyarakat. Allah SWT berfirman:

وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

"Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ

"Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kalian tinggal menurut kemampuan kalian." (QS. Ath-Thalaq [65]: 6)

Nafkah ini juga mencakup kebutuhan lainnya menurut kehidupan yang layak di masyarakat. Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Disebutkan bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan, pernah berkata kepada Nabi Saw., “Sungguh Abu Sufyan orang yang pelit. Dia tidak memberiku nafkah yang mencukupi diriku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil dari dia, sementara dia tidak tahu.”

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Hindun bertanya, “Apakah ada dosa atas diriku jika aku mengambil sesuatu dari hartanya.”

Rasulullah Saw. kemudian bersabda kepada Hindun:

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ الْمَعْرُوفِ

"Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu secara layak." (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Ungkapan: “Apa yang mencukupi dirimu dan anakmu secara layak” bermakna mutlak dan bersifat umum; hanya dibatasi dengan batasan bil makrûf (secara layak). Hal itu menunjukkan bahwa apa yang mencukupi itu tidak terbatas pada kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang; tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lainnya yang layak sebagaimana kelayakan di dalam masyarakat.

Hadits terakhir ini juga menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan secara layak merupakan kewajiban seorang laki-laki (ayah/suami) sekaligus merupakan hak istri dan anak (juga siapa saja yang manjadi tanggungan suami).

Ketika tidak terpenuhi, istri boleh mengambil haknya itu untuk kecukupan dia dan anak-anaknya dari harta suaminya meski tanpa sepengetahuan atau izin dari suaminya itu. Hak itu tentu tidak terbatas untuk istri saja, tetapi juga untuk anak dan siapa saja yang nafkahnya menjadi tanggungan orang itu, atas dasar kesamaan hak mereka.

Hal itu menunjukkan betapa pentingnya pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan untuk hidup secara layak di masyarakat. Kebolehan istri mengambil harta suaminya tanpa izin atau sepengetahuan suami, untuk pemenuhan kebutuhan dia dan anaknya, itu menunjukkan hukum Islam atas jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu. Ini baru sebagiannya.

Untuk memastikan pemenuhan nafkah untuk keluarga itu, Islam antara lain mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja. Dorongan sangat besar juga diberikan untuk pemenuhan nafkah keluarga itu. Islam telah menetapkan bahwa pembelanjaan untuk nafkah keluarga lebih agung pahalanya dibandingkan dengan infaq fi sabilillah, membebaskan budak dan sedekah kepada orang miskin. Rasul Saw. bersabda:

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ الله وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

"Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau belanjakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu, yang paling agung pahalanya adalah yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu." (HR Muslim)

Inilah beberapa dasar mengenai kewajiban seorang laki-laki atau suami atau ayah untuk menafkahi keluarganya. Seorang suami (laki-laki/suami) sepatutnya mengembannya dengan penuh tanggung-jawab dan penuh keikhlasan hanya mengharapkan ridha Allah semata. Ia tidak boleh menyia-nyiakan amanah keluarganya tersebut, dengan mengganggur tanpa pekerjaan apalagi jika sampai ia mengemis di jalanan.

Bila ia tidak bekerja, dari mana ia akan menafkahi keluarganya tersebut? Bila sang kepala rumah tangga tidak memberi dan menafkahi keluarganya tersebut, lantas kepada siapa isteri dan anak-anaknya serta orang-orang yang menjadi tanggungannya meminta nafkah untuk keberlangsungan hidup mereka? Dan tentu berdosa besarlah bagi seorang laki-laki (suami/ayah) yang menelantarkan atau tidak menafkahi keluarganya (isteri, anak-anaknya dan siapa saja yang menjadi tanggungannya) tersebut.

Wallahu a'lam bish shawab. []


Channel Youtube Kopi Nikmat

Channel Youtube Kopi Nikmat
(klik gambar logo)

Fanpage di Facebook

Popular Posts

Search This Blog