Oleh: Zakariya
al-Bantany
Polemik, kekisruhan
dan kegaduhan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) masih berlangsung dan makin
panas hingga memicu banyak gelombang protes dan aksi besar-besaran dari
berbagai lapisan masyarakat khususnya umat Islam di tanah air yang menolak RUU
HIP dan menuntut RUU HIP tersebut untuk dibatalkan. [1]
Dan pemerintah pun
bersama DPR RI sepertinya tetap akan berupaya mensahkan RUU HIP tersebut
meskipun sebelumnya sempat ditunda (bukan dibatalkan) karena tuntutan banyak
pihak khususnya umat Islam yang diwakili oleh MUI Pusat dan MUI se-Propinsi
Indonesia beserta seluruh Ormas Islam yang menuntut agar RUU HIP tersebut
dibatalkan. [2]
Buktinya pun kini
pemerintah bersama DPR RI berupaya mengganti nama RUU HIP tersebut menjadi RUU
BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) untuk menyiasati dan mengelabui
masyarakat khususnya umat Islam serta merupakan lobi-lobi politik untuk menekan
dan menggembosi arus laju penolakan rakyat dan umat Islam terhadap RUU HIP
tersebut. Sehingga RUU HIP tersebut tetap bisa disahkan dengan modus ganti nama
menjadi RUU BPIP. [3]
RUU BPIP = RUU HIP
karena substansinya tetap sama sekalipun mengganti nama baru. Seperti halnya
ular berbisa nan beracun yang mengganti kulit lamanya yang sudah kusam, rusak
dan tidak sedap dipandang dengan kulit barunya yang nampak indah dan sedap
dipandang, namun itu tetaplah ular berbisa nan beracun walaupun dibungkus
dengan kulit barunya yang mungkin nampak indah di penglihatan sebagian orang
yang tersihir oleh keindahan kulit baru sang ular berbisa nan beracun tersebut.
Itu bukti akal bulus
pemerintah dan DPR saja untuk tetap melanggengkan mensahkan RUU HIP/RUU BPIP
tersebut menjadi UU. Padahal, RUU HIP tersebut disinyalir oleh banyak pihak dan
masyarakat serta tokoh-tokoh masyarakat khususnya Ulama bahwasanya RUU HIP/RUU
BPIP tersebut hanya akan menjadi jalan tol kebangkitan PKI dan jalan tol
radikal sekulerisasi dan liberalisasi agama, kehidupan dan negara; serta jalan
tol memberangus Islam khususnya gerakan Islam/Ormas Islam yang kritis terhadap
pemerintahan dan menentang segala bentuk penjajahan kapitalisme global asing
dan aseng yang sedang mencengkram kuat Indonesia; dan juga hanya menjadi jalan
tol kebangkitan otoriterisme neo-orde baru yang lebih brutal dan sangat
diktator.
Jadi, aspirasi rakyat
atau suara rakyat atau masyarakat khususnya umat Islam khususnya Ulama-Habaib
khususnya MUI Pusat dan MUI se-Propinsi serta Ormas-Ormas Islam yang menutut
dibatalkannya RUU HIP tersebut tidak didengarkan dan tidak dianggap oleh pemerintah
dan DPR RI. Dan sekaligus membuktikan pemerintah dan DPR RI tersebut memang
tidak ada i'tikad baik dan sedang tidak mewakili kepentingan rakyat namun
justru nampaknya sedang mewakili kepentingan politik oligarkhi demokrasi yang
korup dan culas yang menjadi inisiator RUU HIP/RUU BPIP tersebut dan dalang
utama di balik RUU HIP/RUU BPIP tersebut.
Dengan adanya polemik
dan kisruhnya RUU HIP ataupun RUU BPIP tersebut dan sikap ngototnya Pemerintah
dan DPR RI yang tetap berupaya melegislasi atau mensahkan RUU HIP tersebut
menjadi UU dengan modus mengganti namanya menjadi RUU BPIP serta menafikkan aspirasi
rakyat khususnya suara umat Islam bersama para Ulama-Habaib, MUI dan seluruh
Ormas Islam, maka itu semua justru akan semakin membuka dan melebarkan polemik
luka lama yang masih menganga dan belum sembuh serta belum usai saat perdebatan
sengit perihal penentuan dasar negara apakah Pancasila ataukah Islam
sebagaimana sejarah perseteruan antara kubu nasionalis sekuler dengan kubu
Islam di sidang BPUPKI pada tahun 1945, perseteruan kubu nasionalis sekuler
dengan kubu Islam di sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959 di Era Orde
Lama hingga berujung didekrit oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 hingga
Soekarno mengeluarkan kebijakan demokrasi terpimpin dan Presiden seumur hidup
dengan politik Nasakomnya, dan Presiden Soeharto yang mengeluarkan kebijakan
pemerintahannya yaitu asas tunggal Pancasila dengan demokrasi Pancasilanya di
Era Orde Baru. [4]
Dan itu semua pun
juga, hanya kian semakin akan kembali membuka lebar pintu diskursus dan
dialektika yang lebih tajam lagi di tengah masyarakat perihal eksistensi
Pancasila tersebut sebagai dasar negara dan apakah benar Pancasila itu
sesungguhnya adalah sebuah ideologi ataukah justru bukan sebuah ideologi..?!
Jadi, terlepas dari
polemik RUU HIP atau RUU BPIP tersebut, yang menjadi pertanyaan mendasarnya
untuk kita clear-kan bersama perihal
Pancasila yang diributkan dan diperdebatkan dengan sengitnya sejak awal di
sidang BPUPKI tahun 1945, di sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959 pada
Era Orde Lama, di Era Orde Baru hingga Era Orde Reformasi dan Era Orde Bohong
saat ini, maka sebenarnya betulkah Pancasila itu ideologi sehingga harus ada
demokrasi terpimpin dan Nasakom pada Era Orde Lama, sehingga juga harus ada
Asas Tunggal Pancasila dan demokrasi Pancasila pada Era Orde Baru, dan juga
harus ada BPIP dan RUU HIP/RUU BPIP tersebut di Era Orde Reformasi dan Era Orde
Bohong saat ini, sehingga juga sebagian kalangan khususnya pemerintah, DPR,
Parpol dan sebagian masyarakat terus-menerus menganggap bahwa Pancasila itu
adalah ideologi..?! Sehingga muncul pula istilah ideologi Pancasila dalam kamus
perpolitikan Indonesia dalam setiap eranya atau dalam setiap masa demi masanya.
Jadi, betulkah Pancasila tersebut itu ideologi..?!
Sebelum kita menjawab
detail pertanyaan tersebut, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu definisi
atau pengertian "ideologi" tersebut secara mendalam dan cemerlang.
Sehingga kita akan mengetahui dan memahami dengan benar, secara mendalam dan cemerlang
perihal fakta real sesungguhnya apakah
benar Pancasila itu ideologi ataukah justru Pancasila itu bukan ideologi..?!
Definisi
Ideologi (Mabda')
Jadi,
mabda' (المبدأ) merupakan istilah bahasa Arab yang dapat diterjemahkan sebagai
ideologi, namun bukan ideologi dalam pengertian yang sempit, sebagaimana dalam
pandangan sekularisme selama ini.
Simple-nya ideologi
(mabda' [المبدأ]) adalah akidah/keyakinan yang dibuktikan dengan proses berpikir
(rasional), yang melahirkan sistem atau seperangkat aturan-aturan (aqîdah aqliyyah yanbatsiqu 'anhâ nidzhâm [عقيدة
عقلية ينبثق عنها نظام]). [5]
Menurut definisi ini,
sebuah akidah/keyakinan disebut sebagai mabda' (ideologi) jika memiliki dua
syarat:
1) Bersifat aqliyyah (rasional);
2) Memiliki
sistem/seperangkat aturan hidup (nidzham).
Jadi, ideologi
(mabda') merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun
pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran mendasar ini disebut aqidah, yang merupakan
pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan serta
hubungan ketiganya dengan DZAT sebelum kehidupan dan sesudah kehidupan.
Sedangkan,
pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun atas dasar aqidah tadi, merupakan
peraturan hidup manusia (nidzham) dalam segala aspeknya: hubungan manusia
dengan al-Khaliq (Sang Maha Pencipta/Tuhan) [hablun
minallah (mencakup perkara: keimanan dan ibadah)]; hubungan manusia
dengan dirinya sendiri (hablun minannafsi
[mencakup perkara: makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq]); dan hubungan
manusia dengan sesamanya (hablun minannaas/
mu'amalah) yakni mencakup perkara politik, ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan
(hankam).
Syaikh Taqiyuddin
An-Nabhani rahimahullah (Nidzham Al-Islam [Peraturan Hidup Dalam Islam], 2001) menjelaskan definisi
ideologi (mabda') ini dari sisi lain, yakni ideologi (mabda') tersusun dari
fikrah (ideas, thoughts [ide/pemikiran/ gagasan/konsepsi/ mafahim]) dan thariqah
(method [metodelogi/ cara baku/ roadmap]).
Ideologi dari sisi ini
ditinjau dari segi: Pertama,
konsep/pemikiran murni –yang semata-mata merupakan penjelasan konseptual tanpa
disertai penjelasan bagaimana metode menerapkan konsep itu dalam kenyataan— dan
Kedua, metodelogi yang menjelaskan
bagaimana pemikiran/konsep itu diterapkan secara praktis. Tinjauan ideologi
sebagai kesatuan fikrah-thariqah ini
dimaksudkan untuk menerangkan atau menjelaskan bahwa thariqah adalah suatu keharusan agar fikrah tersebut dapat terwujud. Di samping itu, juga untuk
menerangkan bahwa fikrah dan thariqah suatu ideologi adalah unik (khas).
Artinya, setiap ada fikrah dalam sebuah
ideologi, pasti ada thariqah yang khas
untuk menerapkan fikrah tersebut, yang
berasal dari ideologi itu sendiri, bukan dari ideologi yang lain.
Menurut Syaikh
Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah, fikrah merupakan sekumpulan konsep/pemikiran
yang terdiri dari dari dua unsur:
1. Aqidah, yaitu
pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan;
2. Dan solusi terhadap
masalah manusia.
Sedang thariqah –yang merupakan metodelogi penerapan
ideologi secara operasional-praktis— terdiri dari:
1. Penjelasan cara
melaksanakan solusi terhadap masalah;
2. Cara penyebarluasan
ideologi;
3. Dan cara
pemeliharaan Aqidah.
Jadi, ideologi
ditinjau dari sisi ini adalah gabungan dari fikrah
dan thariqah, sebagai satu kesatuan. [6]
Definisi ideologi yang
telah dijelaskan tersebut bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku
untuk ideologi-ideologi dunia yang sedang eksis saat ini, seperti
Kapitalisme-Sekulerisme dan Sosialisme-Komunisme termasuk pula Islam. Maka,
apabila kita telusuri dunia ini, kita hanya menjumpai tiga mabda' (ideologi) yaitu ideologi Kapitalisme
yang lahir dan berlandaskan aqidah kufur sekulerisme, Sosialisme/komunisme yang
lahir dan berlandaskan aqidah kufur atheisme, dan Islam yang berlandaskan
aqidah tauhid Islam.
Selain tiga ideologi
tersebut semuanya bukan ideologi termasuk Pancasila sangat jelas bukan sebuah
ideologi, karena tidak memenuhi kriteria dan karakteristik dari definisi
ideologi tersebut beserta syarat-syaratnya termasuk pula fikrah dan thariqah-nya
tersebut.
Hanya Islam
Ideologi (mabda') Yang Benar
Dan ideologi (mabda')
Islam sendiri berpijak pada aqidah Islam, satu-satunya aqidah yang lurus dan shahih (benar), bersumberkan dari wahyu Allah
Tuhan Sang Maha Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Aqidah
Islam sendiri adalah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, iman
kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasul-Rasul-Nya, iman kepada Hari
Akhir/Hari Kiamat dan iman kepada Qadha wal
Qadar baik-buruknya dari Allah.
Inilah aqidah yang
sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan hati. Pengetahuan
yang shahih, pemahaman yang shahih, pemikiran yang shahih, metodologi yang
shahih dan kebangkitan yang shahih tentunya harus bersumber dari ideologi
(mabda') yang shahih pula.
Dan Ideologi (mabda')
yang shahih harus berpijak di atas aqidah yang shahih pula. Aqidah Islam
memiliki karakteristik sebagai aqidah ruhiyah
(aqidah spritual) sekaligus aqidah ri’ayah
atau aqidah siyasiyah (aqidah politik)
yang haq.
Aqidah ini memancarkan sistem
(seperangkat aturan yang disebut Syariah Islam) kehidupan yang menyeluruh,
mengatur urusan pribadi, manusia dengan Tuhannya (Al-Khaliq/Allah SWT),
keluarga, masyarakat maupun negara. Ideologi shahih terpancar dari aqidah yang shahih pula.
Sekalipun peradaban Islam pernah runtuh tetapi bukan dikarenakan kesalahan pada
ideologi ataupun aqidahnya ini, namun disebabkan karena melemahnya pemahaman
Umat Islam atas agamanya, usaha-usaha atau konspirasi jahat yang dilakukan oleh
orang-orang kafir imperialis dan orang-orang munafiq yang senantiasa membenci
dan sangat memusuhi Islam.
Maka, jelaslah hanya Islam satu-satunya aqidah
dan ideologi yang shahih. Islam sebagai aqidah mampu memuaskan akal,
menentramkan hati dan sesuai fitrah manusia. Sedangkan sebagai ideologi, Islam
mampu menguraikan berbagai macam problematika kehidupan dalam seluruh aspek
kehidupan. Islam pun mampu dengan benar dan tepat dalam menjawab tiga
pertanyaan mendasar yang merupakan simpul besar ('uqdatul
kubra), yaitu:
1. Dari mana kita
berasal..?!
2. Untuk apa kita
hidup di dunia ini..?!
3. Dan akan ke mana
kita setelah kehidupan di dunia ini..?
Jadi, Islam hanya
satu-satunya ideologi (mabda') yang shahih di dunia ini, selain Islam adalah
salah dan bathil serta fasad (rusak). Karena, memang Islam pada faktanya
mempunyai sebuah aqidah aqliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai sistem
peraturan hidup (nidzham) yang sangat sempurna (kamil)
dan sangat komprehensif (syumuliyah/ syamil) yaitu Syariah Islam, yang mengatur
seluruh aspek kehidupan.
Sebab, ideologi
(mabda') Islam itu sendiri bersumber dari Allah SWT Tuhan Semesta Alam Yang
Maha Sempurna yang telah menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta.
Sedangkan, ideologi Kapitalisme-Sekulerisme dan Sosialisme-Komunisme, termasuk
pula Pancasila yang dianggap ideologi oleh sebagian orang yang buta definisi
ideologi tersebut adalah sangat lemah karena bersumber dari akal pikir makhluq
yang bernama manusia yang sangat lemah, dan manusia itu pun tempatnya salah dan
lupa serta manusia itu pun terbatas dan fana (tidak kekal).
Dan Islam Itu sendiri
pun tinggi dan tidak ada yang dapat menandingi ketinggian Islam, karena Islam
bersumber dari Allah Sang Penguasa Jagad Raya Yang Maha Tinggi dan Maha Serba
Maha. Allah SWT berfirman:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu menjadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3)
Rasulullah Saw. pun
bersabda:
اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan
ketinggiannya.” (HR. Ad-Daruquthni dan al-Baihaqy). [7]
Dengan demikian,
tatkala kita menyebutkan istilah “ideologi (mabda') Islam” sesungguhnya kita
telah memelihara substansi ataupun hakikat Islam itu sendiri –yaitu Aqidah dan
Syariah— tanpa mengurangi atau menambahinya sedikitpun. Aqidah dan Syariah-nya
tetap itu-itu juga. Hanya saja, kita meletakkan keduanya dalam kerangka
berpikir ideologis dan politis, untuk menghadapi situasi umat saat ini, yang
menganggap Islam sebagai “agama thok”
dalam pengertian Barat yang sekuler dan liberal.
Jadi, Islam adalah
ideologi (mabda') sekaligus sebuah agama samawi yang sangat berbeda jauh dengan
seluruh agama-agama yang ada di muka bumi ini baik nasrani, yahudi, majusi,
konghucu, hindu dan buddha, dan lain-lain, maupun ideologi manapun baik ideologi
kapitalisme sekulerisme demokrasi maupun sosialisme komunisme. Karena, Islam
tidak sekedar agama thok belaka, namun
Islam juga adalah sebuah ideologi (mabda') sebagaimana penjelasan sebelumnya
tersebut sekaligus Islam pun merupakan sistem kehidupan dan sebuah pandangan
hidup yang khas serta mampu menjawab atau mampu memberikan solusi tuntas dari
setiap persoalan segala problematika hidup yang melanda umat manusia dengan
jawaban yang sangat memuaskan akal dan menentramkan hati serta sesuai dengan
fitrah manusia itu sendiri.
Sebab, sekali lagi
bahwa Islam adalah ideologi (mabda') sekaligus agama yang syamil (komprehensif
atau lengkap/sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan). Islam pun adalah
sebuah aqidah ruhiyah (aqidah spritual)
yang mengatur aspek keimanan dan ibadah mahdhah
(ibadah ritual), sekaligus Islam adalah akidah siyasiyah (aqidah politik) yang
mengatur seluruh aspek kehidupan baik perkara aqidah, ibadah, akhlak, pakaian,
makanan, minuman, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan,
hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan (hankam).
Karena itulah, sekali
lagi ditegaskan bahwa Islam pun sejatinya adalah sebuah mabda' (ideologi) yakni
sebuah aqidah aqliyah (aqidah yang rasional) yang daripadanya memancarkan
seperangkat sistem peraturan hidup. Adapun asas dari ideologi (mabda') Islam tersebut
adalah aqidah tauhid Islam sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Karena itulah,
definisi syar'i Islam itu sendiri adalah dien
(agama/ideologi) yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Rasulullah
Saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan al-Khaliq (Allah SWT) atau Sang
Maha Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan (hablun minallah) yaitu mencakup perkara akidah dan ibadah;
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun
minannafsi) yaitu mencakup perkara pakaian, akhlak, makanan dan minuman;
dan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablun
minannaas) yaitu mencakup perkara politik, ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan.
Oleh sebab itulah, ini
sekali lagi membuktikan dan menegaskan bahwasanya Islam itu tinggi dan tidak
ada yang bisa menandingi ketinggian Islam yang telah diturunkan oleh Allah SWT
Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Pencipta Alam Semesta, manusia dan kehidupan
tersebut.
Islam Itu
Tinggi Dan Sempurna
Ketinggian Islam itu
sendiri -baik sebagai agama dan ideologi (mabda') sekaligus sistem kehidupan
dan pandangan hidup- dapat kita lihat dan dapat kita pahami dari komponen atau
unsur pokok utama Islam, di mana Islam sendiri memiliki dua pokok unsur utama,
yaitu fikrah dan thariqah:
1. Fikrah adalah pemikiran (gagasan utama/ide/
konsepsi/mafahim/blueprint) mendasar dan menyeluruh, yaitu berupa aqidah dan
Syariah. Aqidah adalah pemikiran mendasar dan menyeluruh tentang alam semesta,
manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan Dzat sebelum kehidupan
dan Dzat sesudah kehidupan.
Aqidah Islam sendiri
adalah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, iman kepada
kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasul-Rasul-Nya, iman kepada Hari Kiamat, dan iman
kepada Qadha dan Qadar baik buruknya dari Allah.
Sedangkan, Syariah
adalah seruan Allah SWT (khithabu asy-Syaari')
sebagai Sang Pembuat hukum dan Pemilik hukum kepada hamba-hamba-Nya yang
berkaitan dengan perbuatan hamba yaitu berisikan perintah dan larangan Allah
SWT. Syariah Islam sendiri mengatur perkara akidah, ibadah, pakaian, makanan,
minuman dan akhlak serta mengatur perkara politik, ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian, pertahanan dan keamanan.
Sumber utama Syariah
Islam adalah wahyu Allah SWT yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Syariah Islam juga
disebut hukum syara', yang terdiri dari lima hukum (ahkamu al-khamsah) yaitu fardhu (wajib), haram, mandub (sunnah),
makruh dan mubah (boleh).
2. Thariqah adalah cara baku atau metodologi
dalam menerapkan, menjaga dan menyebarluaskan Islam. Adapun metode dalam
menerapkan, menjaga dan menyebarluaskan Islam, yaitu dengan melalui individu,
kelompok, masyarakat dan negara.
Namun, Islam hanya
bisa secara praktis, efektif dan efisien diterapkan secara kaffah (totalitas)
dalam segala aspek kehidupan, dijaga secara totalitas dan disebarluaskan ke
segala penjuru dunia dengan negara atau institusi politik yang telah
dicontohkan, diajarkan, dipraktekkan, dibakukan dan diwariskan oleh Rasulullah
Saw. dan para Khulafaur Rasyidin serta para Khalifah setelahnya yaitu Negara
Islam (Daulah Islam) atau institusi politik Islam yang bernama Daulah Khilafah
Islam.
Khilafah sendiri
adalah kepemimpinan umum bagi seluruh umat Islam sedunia lintas suku bangsa dan
lintas benua dalam satu negara, satu kepemimpinan, satu sistem, satu hukum dan
satu ideologi serta satu bendera yang dipimpin oleh seorang kepala negara yang
disebut dengan istilah Khalifah atau Amirul Mukminin.
Karena itulah Daulah
Khilafah Islam sendiri fungsi utamanya adalah sebagai pelaksana Syariah,
pelanjut kehidupan Islam dengan diterapkannya seluruh hukum syara' (Syariah
Islam) dalam segala aspek kehidupan, pemersatu umat dan pengurus umat serta
penjaga Islam dan umat Islam sekaligus Khilafah merupakan mahkota kewajiban (taajul furuudh) dan perisai Islam (junnatu al-Islam) serta pedang Allah (saifullah) yang terhunus dan benteng utama
Islam yang sangat kokoh.
Karena itulah,
hakikatnya Khilafah adalah representasi atau wujud dari ketinggian Islam dan
dari Islam kaffah atau penerapan Islam secara kaffah (totalitas) dalam segala
aspek kehidupan. Tanpa Khilafah maka Islam tidak akan bisa diterapkan secara
kaffah dalam segala aspek kehidupan. Dan tanpa Khilafah banyak
kewajiban-kewajiban Syariah yang tidak dapat ditunaikan secara sempurna. Karena
itulah, dalam kaidah ushulul fiqh
ditegaskan:
مَالَا
يَتِمُّ الوَاجِبَ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Tidak sempurna
suatu kewajiban tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib."
Karena itulah,
berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma' Sahabat dan Qiyash Syar'iyyah maka
mewujudkan tegaknya kembali Khilafah hukumnya wajib. Bahkan jumhur Ulama
Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) bersepakat wajibnya Khilafah.
Dan para Ulama
Ahlussunnah pun berkata: "Tidak adanya Khilafah adalah induk kejahatan (ummul jaraaim)."
Artinya dengan
pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah)
dapat kita fahami sebaliknya pula bahwa adanya Khilafah adalah induk kebaikan (ummul akhyar).
Inilah ketinggian
Islam dan kesempurnaan Islam sebagai sebuah agama dan ideologi (mabda')
sekaligus sistem Ilahi yang sangat paripurna dan sangat komprehensif yang
mengatur seluruh aspek kehidupan secara totalitas atau kaffah dan membawa
kebaikan dan keberkahan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta, sebagaimana
yang termaktub dalam QS. Al-Maidah: 03. Allah SWT berfirman:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 03)
Betulkah
Pancasila Itu Ideologi?!
Walhasil, dari uraian
yang sangat panjang di atas perihal definisi ideologi (mabda') tersebut beserta
syarat-syaratnya ataupun komponen-komponen pembentuknya berupa aqidah aqliyyah dan sistem peraturan hidup (nidzham); mengandung fikrah (aqidah dan nidzham/Syariah [hablun minallah: keimanan dan ibadah; hablun minannafsi: makanan, minuman, pakaian, dan akhlaq; dan hablun minannaas/mu'amalah: politik, ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, hukum, peradilan, persanksian,
pertahanan dan keamanan/hankam]) dan thariqah
(cara baku/metodelogi: menerapkan, menjaga dan menyebarluaskannya)nya.
Tiga ideologi
(kapitalisme-sekulerisme, sosialisme- komunisme, dan Islam) yang sedang eksis
di dunia saat ini benar-benar merupakan fakta real
yang disebut ideologi. Maka, kesimpulannya bahwasanya Pancasila bukanlah sebuah
ideologi, namun Pancasila hanyalah sebuah 'set of philasophy' atau seperangkat
nilai filosofis belaka.
Wallahu a'lam bish shawab. []
Bersambung...
Catatan Kaki:
1. https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/amp/pr-01599235/polemik-ruu-hip-picu-gelombang-protes-puan-maharani-singgung-ruu-lain-yang-sudah-diajukan;
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200707174743-32-521933/ruu-hip-dan-akar-trauma-umat-islam-terhadap-komunisme];
4. https://www.assakinah.or.id/2017/06/09/perdebatan-sengit-di-bpupki-dan-lahirnya-pancasila/;
https://www.tribunnews.com/amp/nasional/2016/06/01/perdebatan-sengit-soal-urutan-pancasila-berikut-kalimat-kalimat-yang-dihapus;
https://m.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2013/06/23/66689/22-juni-1945-dan-5-juli-1959.html;
https://www.mediaumat.news/janji-itu-dikhianati/;
https://www.merahputih.com/post/amp/pro-kontra-asas-tunggal-pancasila;
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pancasila;
5. Syaikh Muhammad
Muhammad Ismail dalam bukunya, Al-Fikr
al-Islâmi (hal. 9–11), dan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya Nidzham al-Islam, hal. 24;
6. Syaikh Taqiyyudin
An-Nabhani, 2001, Nizham Al-Islam, hlm.
22-23;
7. HR. Ad-Daruquthni
(III/ 181 no. 3564), tahqiq Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abdul Maujud dan Syaikh ‘Ali
Mu’awwadh, Darul Ma’rifah, th. 1422 H) dan al-Baihaqy (VI/205) dari Shahabat
‘Aidh bin ‘Amr al-Muzan Radhiyallahu
anhu;