Oleh: Zakariya al-Bantany
Gagal Pahamnya Pengikut Dan Pembela Penguasa Yang Dzhalim
Orang-orang yang gagal memahami fakta dan nash-nash syar'i serta gagal pula dalam ber-istidhlal dan gagal pula dalam menyimpulkan status hukum sesuatu fakta khususnya terkait Ulil Amri dan ketaatan terhadap pemimpin.
Sehingga mereka membabi buta taat, mendukung dan membela pemimpin ruwaibidhah demokrasi-sekuler -yang terbukti amat sangat dzhalim dan menyimpang dari akidah Islam serta telah mencampakkan hukum-hukum Allah dan terang-terangan pula memusuhi Islam- dengan menafikkan ribuan lebih fakta-fakta kedzhaliman dan penyimpangan penguasa ruwaibidhah demokrasi-sekuler tersebut.
Seraya pula mereka pun menafikkan banyaknya nash-nash syar'i perihal kewajiban amar ma'ruf wa nahi munkar khususnya kepada penguasa yang dzhalim dan larangan taat, masuk dan mendukung penguasa yang dzhalim tersebut. Seperti hadits-hadits berikut ini:
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Juga diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., Nabi Saw. bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Rasulullah Saw. pun bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَوَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
“Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa).” (HR. Muslim No. 3445)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits Rasulullah Saw. lainnya yang mereka ingkari perihal kewajiban amar ma'ruf wa nahi munkar khususnya kepada penguasa yang dzhalim dan larangan taat, masuk dan mendukung penguasa yang dzhalim tersebut.
Padahal pula sangat jelas dalam Islam sendiri, ketaatan mutlak itu hanya berlaku untuk Allah dan Rasul-Nya; sehingga kepada Ulil Amri/ pemerintah/ pemimpin yang berhukum pada Syariah pun, ketaatan itu sifatnya terbatas (tidak mutlak). Sebagaimana yang termaktub dalam QS. An-Nisa' [4]: 59.
Oleh karena itu, terkait Ulil Amri tersebut sebagaimana yang termaktub dalam QS. An-Nisa' [4]: 59 tersebut, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul serta Ulil Amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian memang mengimani Allah dan Hari Akhir. Itu lebih baik dan merupakan sebaik-baik penjelasan." (QS. An-Nisa’ [4]: 59).
Konotasi kata Ulil Amri di sini, menurut Ibn Abbas ra. , adalah al-umara’ wa al-wullat (para penguasa). Konteks ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban untuk menaati penguasa. [Asy-Syaukani, Naylu al-Awthar fi Syarh Muntaqa al-Akhbar, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, VIII/46].
Karena itu, Ulil Amri dengan konotasi penguasa dalam konteks ini jelas lebih tepat ketimbang konotasi ulama atau yang lain. Dengan demikian, ayat ini jelas memerintahkan agar menaati penguasa/pemimpin. Namun, penguasa/pemimpin seperti apa yang dimaksud..?!
Sayyidina Ali bin Abi Thalib-karrama-Llahu wajhah-menjelaskan, bahwa seorang imam/kepala negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan menaatinya. [Al-Baghawi, Tafsir al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t, surat an-Nisa’ [04]: 59].
Juga di dalam kitab Fathul Qadir 1/556, Imam Syaukani Rahimahullah pun mengatakan:
والأولى الأمر : هم الأئمة والسلاطين، والقضاة وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
“Ulil Amri adalah para imam, penguasa, hakim, dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang Syar'i (yakni sesuai syariat) bukan kekuasaan Thoghut." [Asy-Syaukani, Fathul Qadir, 1/556].
Demikian pula dalam kitab Majmu' Fatawa wa Maqolatun Mutanawwi'ah 1/117, Syaikh Bin Baz Rahimahullah sendiri mengatakan:
لأنه ليس كل حاكم يكون عالما يصح منه الإجتهاد، كما أنه ليس كل حاكم سواء كان ملكاً أو رءيس جمهورية يسمي أمير المؤمنين، وإنما أمير المؤمنين من يحكم بينهم بشرع الله ويلزمهم به، ويمنعهم من مخالفته، هذا هو المعلوم بين علماء الإسلام والمعروف بينهم.
“...Karena tidaklah setiap pemimpin dinamakan seorang alim yang sehingga dibenarkan ia berijtihad, sebagaimana tidaklah setiap pemimpin, baik itu kedudukannya sebagai raja atau presiden dinamakan 'Amirul Mukminin' (Ulil Amri), karena yang dinamakan 'Amirul Mukminin' (Ulil Amri) hanyalah seseorang yang berhukum di antara rakyatnya dengan Syariat Allah dan mengharuskan mereka atas itu, dan melarang mereka untuk menyelisihinya. Inilah yang telah diketahui di antara Ulama Islam dan dikenal di kalangan mereka." [Syaikh Bin Baz, Majmu' Fatawa wa Maqolatun Mutanawwi'ah 1/117, cetakan Daarul Qasim lin Nasyr-Riyadh].
Karena itu, konteks menaati Ulil Amri dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ [4]: 59 di atas tidak berlaku mutlak, sebagaimana menaati Allah dan Rasul-Nya yang maksum; tetapi terikat dengan ketaatan Ulil Amri tersebut kepada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya semata.
Apatah lagi terhadap pemimpin/penguasa demokrasi yang notabene jelas-jelas faktanya mereka menjalankan sistem kufur pemerintahan demokrasi warisan kafir penjajah dan menerapkan hukum-hukum demokrasi-sekuler dan liberal kapitalis serta sangat banyak sekali melanggar akidah Islam dan Syariah Islam serta sangat banyak sekali berlaku dzhalim kepada rakyatnya dengan segala kebijakannya yang sangat pro kepada para penjajah kafir dan aseng beserta elit-elit oligarkhi demokrasi yang korup dan culas, maka hukumnya jelas di dalamnya tidak ada ketaatan terhadapnya. Sebab, dengan tegas Nabi Saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
"Tidak boleh ada sedikitpun ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq (Allah SWT)." (HR. Ahmad)
Dalam riwayat hadits yang lain pun dijelaskan dan ditegaskan sebagai berikut ini:
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَقَالَ لِلْآخَرِينَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Saw. mengutus satu pasukan dan mengangkat seorang laki-laki sebagai panglima mereka. Kemudian panglima itu menyalakan api dan berkata (kepada pasukannya): "Masuklah kamu ke dalam api!" Sebagian pasukan berkehendak memasukinya, orang-orang yang lain mengatakan, "Sesungguhnya kita lari dari api (neraka)," kemudian mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Saw., maka beliau bersabda kepada orang-orang yang berkehendak memasukinya, "Jika mereka memasuki api itu, mereka akan terus di dalam api itu sampai Hari Kiamat". Dan beliau bersabda kepada yang lain, "Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf"." (HR. Bukhari, no. 7257; dan Muslim, no. 1840)
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Yang dimaksudkan ma’ruf di sini adalah perkara yang bukan mungkar dan bukan maksiat. Sehingga masuk di dalam ma’ruf ini, yaitu ketaatan-ketaatan yang wajib, perkara-perkara yang mandub (dianjurkan), dan perkara-perkara yang boleh menurut agama. Jika penguasa memerintahkan perkara yang jaiz (boleh), mentaati penguasa di dalam perkara itu menjadi wajib hukumnya, dan tidak boleh menyelisihinya.” [Al-Mufhim, 4/41. Dinukil dari catatan kaki kitab Fiqih as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 279]
Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan Ka’ab bin Ujroh ra., ia berkata bahwa Rasulullah Saw. keluar mendekati kami, lalu bersabda:
إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kedzhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedzhaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di Hari Kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
Padahal juga sangat jelas pula dalam hadits Rasulullah Saw. berikut ini bahwasanya ketaatan tersebut berlaku kepada pemimpin Islam (Ulil Amri) pada pemerintahan Islam (yakni Khilafah) yang menjalankan Kitabullah dan berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah Saw. serta sunnah Khulafaur Rasyidin bukan ketaatan pada pemimpin dzhalim dalam pemerintahan kufur demokrasi-sekuler maupun komunis, teokrasi, monarkhi dan pemerintahan jahiliyah lainnya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw. berikut ini:
Dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah Saw. menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata:
"Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegangteguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang shahih lighairihi (shahih karena dikuatkan dengan sanad yang lain)
Artinya mengadopsi, menerapkan serta mentaati bahkan membela pemimpin dzhalim ruwaibidhah pada pemerintahan kufur demokrasi atau politik kufur demokrasi yang notabene adalah sistem kufur jahiliyah di era modern zaman now ini, itu sama saja telah melakukan perbuatan bid'ah dhalalah bahkan itu merupakan perbuatan bid'ah dhalalah al-Kubro.
Karena sistem kufur demokrasi-sekuler tersebut beserta kapitalismenya adalah mbahnya bid'ah dhalalah atau biangnya bid'ah dhalalah di zaman now ini. Bahkan demokrasi-sekulerisme tersebut beserta kapitalismenya telah menjadi berhala modern atau berhala gaya baru di zaman modern era zaman now ini.
Sebab, Rasulullah Saw. dan para Sahabat radhiyallahu 'anhum khususnya Khulafaur Rasyidin pun tidak pernah mengadopsi, menerapkan, mengajarkan, mencontohkan, mempraktekkan dan mewariskan sistem politik/sistem kepemimpinan demokrasi atau sistem pemerintahan demokrasi tersebut.
Namun, yang diadopsi, diterapkan, diajarkan, dicontohkan, dipraktekkan dan diwariskan oleh Rasulullah Saw. dan para Sahabat radhiyallahu 'anhum khususnya Khulafaur Rasyidin adalah hanya sistem pemerintahan Islam/sistem politik Islam yaitu Khilafah bukan sistem kufur demokrasi dan bukan pula sistem kufur monarkhi dan teokrasi maupun komunisme.
Rasulullah Saw. pun bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah meskipun kaliau dipimpin oleh hamba sahaya dari habasyi, dengar dan taatilah dia selama memimpin kalian dengan KITABULLAH.” (HR. Tirmidzi, no. 1706, Nasa’i, 7/154, Ibnu Majah, no. 2328, Ahmad, 6/402 dan Al-Hakim, 4/206)
Allah SWT pun berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50)
Bahkan di dalam banyak ayat-ayat suci Al-Qur’an pun telah dijelaskan pula, bahwa barangsiapa mentaati pemimpin dengan mutlak, mentaatinya di dalam kekafiran dan kemaksiatan dan kemungkaran, maka sesungguhnya dia akan menyesal kelak di kemudian hari dengan penyesalan yang sangat besar. Karena pemimpin yang dia ikuti tidak akan bisa menolongnya pada Hari Kiamat, bahkan pemimpin itu akan berlepas diri dari para pengikutnya. Allah SWT berfirman:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ ﴿١٦٦﴾ وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا ۗ كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ ۖ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
"Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka." (QS. Al-Baqarah [2]: 166-167)
Dan para pengikut yang telah melihat siksa Allah, akan meminta kepada para pemimpinnya dahulu agar menyelamatkan dari siksa tersebut. Namun hal itu tidak mungkin terpenuhi. Allah SWT memberitakan kejadian itu di dalam firman-Nya:
وَبَرَزُوا لِلَّهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۚ قَالُوا لَوْ هَدَانَا اللَّهُ لَهَدَيْنَاكُمْ ۖ سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ
"Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja?” Mereka menjawab: “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." (QS. Ibrahim [14]: 21)
Di dalam ayat yang lain Allah SWT pun memberitakan saling bantah-membantahnya antara para pengikut dengan para pemimpin mereka ketika mereka telah berada di dalam neraka. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ ﴿٤٧﴾ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ
"Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?” Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: “Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka, karena sesungguhnya Allâh telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya)”." (QS. Ghafir [40]: 47-48)
Begitupula, ketika pemimpin berada di dalam kesesatan, kemudian mereka menyesatkan para pengikutnya, mereka semua mengira berada di atas kebenaran. Namun ketika kebenaran hakiki telah tersingkap, bahwa mereka semua berada di dalam kesesatan, karena menentang para Rasul Allah, maka akhirnya mereka saling salah-menyalahkan antar satu sama lainnya. Allah SWT berfirman:
وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ مَوْقُوفُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ الْقَوْلَ يَقُولُ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلَا أَنْتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ﴿٣١﴾قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا أَنَحْنُ صَدَدْنَاكُمْ عَنِ الْهُدَىٰ بَعْدَ إِذْ جَاءَكُمْ ۖ بَلْ كُنْتُمْ مُجْرِمِينَ﴿٣٢﴾وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَنْدَادًا ۚ وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الْأَغْلَالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan orang-orang kafir berkata: “Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al-Qur’an ini dan tidak (pula) kepada kitab yang sebelumnya”. Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang dzhalim itu dihadapkan kepada Rabbnya, sebahagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Kalau tidaklah karena kamu, tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah: “Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa”. Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “(Tidak), sebenarnya tipudaya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allâh dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya”. Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat adzab. Dan Kami akan memasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Saba’ [34]: 31-33)
Dan begitupula khususnya bagi semua orang kafir, baik pemimpin maupun pengikutnya, akan kekal di dalam siksa neraka. Karena kemarahan, kejengkelan, dan kesusahan, maka para pengikut memohon kepada Allah agar para pemimpin itu disiksa dengan siksa dua kali lipat, yaitu dengan sebab kekafiran mereka dan dengan sebab mereka menyesatkan pengikutnya. Allah SWT berfirman:
قَالُوا رَبَّنَا مَنْ قَدَّمَ لَنَا هَٰذَا فَزِدْهُ عَذَابًا ضِعْفًا فِي النَّارِ
"Mereka (para pengikut) berkata (lagi): “Ya Rabb kami; orang yang telah menjerumuskan kami ke dalam adzab ini, maka tambahkanlah adzab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka”." (QS. Shaad [38]: 61)
Di dalam ayat yang lain pun Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka); mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: ”Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”." (QS. Al-Ahzâb [33]: 64-68)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Thâwus rahimahullah mengatakan, “Saadatana yaitu para pemimpin, sedangkan kubaro-ana (pembesar-pembesar kami) adalah Ulama”. (Riwayat Ibnu Abi Haatim). Yaitu, kami dahulu telah mentaati para penguasa dan para pembesar dari kalangan Ulama’, dan kami telah menyelisihi para Rasul, kami dahulu meyakini bahwa mereka memiliki sesuatu (manfaat, Pen.), dan bahwa mereka di atas sesuatu (kebenaran, Pen.), namun ternyata mereka tidak di atas sesuatu (kebenaran)." [Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ahzâb (33): 67-68, dengan ringkas]
Namun aneh bin ajaibnya mereka para pendukung, pengikut, penjilat, pemuja dan pembela penguasa/pemimpin yang dzhalim tersebut alias kaum murji'ah gaya baru baik yang berbaju liberal maupun berbaju sunnah tersebut tetap ngeyel, keukeh dan ngotot menafikkan dalil-dalil atau nash-nash syar'i tersebut. Dan mereka pun tetap membabi buta taat dan mendukung serta membela pemimpin ruwaibidhah demokrasi yang sangat dzhalim tersebut, sambil seraya mereka terus-menerus menafikkan ribuan fakta-fakta kedzhaliman penguasa ruwaibidhah demokrasi pujaan hati mereka tersebut.
Serta mereka pun sangat galaknya minta ampun menggongong, membully, nyinyir dan menyerang serta membunuh karakter siapapun yang menasehati dan mengkritik serta mengoreksi pemimpin ruwaibidhah demokrasi yang sangat dzhalim beserta segudang kedzhalimannya tersebut. Dan mereka pun dengan semangatnya langsung mengeluarkan 'fatwa sesat' mencap khawarij dan kilaabun naar (anjing-anjing neraka) terhadap siapapun khususnya umat Islam dan Ulama yang secara terbuka menasehati, mengkritik dan mengoreksi pemimpin demokrasi yang dzhalim tersebut di muka umum (publik).
Pengikut Dan Pembela Penguasa Yang Dzhalim Laksana Burung Beo
Sungguh mereka itu kaum murji'ah gaya baru (para pengikut, pembela, pemuja dan penjilat penguasa yang dzhalim) tersebut tak ubahnya dan ibaratnya mereka laksana seperti Babgha' (ببغاغ) alias laksana burung beo. Burung beo tatkala diajarkan dan didoktrinkan misal kata 'martabak' berulang kali oleh tuannya ke telinga si burung beo tersebut.
Maka, si burung beo pun akan merekam dan menghafalkannya dalam memori otaknya, lalu si burung beo itu pun akan bisa dengan fasihnya berbicara mengucapkan kata 'martabak' berulangkali. Bahkan tatkala tuannya mengucapkan salam kepada si burung beo, maka si burung beo pun menjawab 'martabak'.
Begitupula tatkala tuannya menunjukkan benda-benda seperti buku, pensil, kursi, meja, nasi padang, roti bakar, sate, dan lain-lain kepada si burung beo tersebut sambil tuannya bertanya tiap nama-nama benda tersebut "apa ini..?!" kepada si burung beo, maka si burung beo tetap menjawab 'martabak' atas nama semua benda-benda tersebut.
Bahkan tatkala tuannya membawa martabak benaran dan sungguhan, kemudian sang tuannya pun menyuruh si burung beo itu untuk makan martabak sungguhan tersebut, eeh tapi justru si burung beo itu pun malah makan ulat dan jangkrik sepuasnya dengan lahapnya. Namun, martabaknya dicuekin dan tidak juga kunjung dimakan oleh si burung beo tersebut.
Ya begitulah fakta burung beo tidak punya akal dan ilmu (pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dan cemerlang sebelumnya) untuk mikir dan berpikir sehingga ia gagal paham melulu perihal fakta hakikat dan citarasa 'martabak' yang ia sering ucapkan tersebut serta benda-benda yang ditanyakan oleh sang tuannya tersebut.
Ya begitulah namanya juga burung beo itu adalah sejenis hewan, makanya sangat wajar si burung beo tersebut hanya cerewet ngomongi 'martabak' melulu tanpa tahu dan tanpa paham fakta hakikat dan citarasa 'martabak' dan benda-benda yang ditanyakan oleh tuannya tersebut. Sehingga sangat wajar bila si burung beo tersebut tidak ma'rifat alias tidak tahu dan tidak faham fakta 'martabak' dan hakikat 'martabak' serta rasa 'martabak' tersebut hingga ia berakhir gagal paham terhadap 'martabak' dan benda-benda lainnya yang ditanyakan oleh tuannya tersebut. Oleh karena itulah, pikir wahai orang-orang yang berakal dan yang beriman serta janganlah pula kita menjadi laksana burung beo tersebut..?!
Wallahu a'lam bish shawab. []
#2020TumbangkanDemokrasi
#2020TegakkanKhilafah
#2020AbadKhilafah
#ReturnTheKhilafah