Oleh: Zakariya al-Bantany
Ulama adalah manusia
biasa seperti kita, hanya saja Allah SWT telah memilih para Ulama sebagai
hamba-hamba pilihan-Nya sekaligus sebagai Wali (kekasih)-Nya dan telah
menganugerahkan kepada mereka keutamaan, kelebihan dan kemuliaan dibandingkan
manusia biasa lainnya, yaitu berupa ilmu dan keimanan yang kokoh dan ketaqwaan
yang tinggi.
Ulama memang bukan
Nabi, tapi mereka para Ulama adalah Pewaris para Nabi. Sebagaimana sabda
Rasulullah ﷺ:
إِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوادِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَن
أَخَذَهُ أَخَذَبِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya Ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh
para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan
ilmu. Barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang
banyak.” (HR. al-Imam at-Tirmidzi di dalam Sunan
beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya
(5/169), ad-Darimi di dalam Sunan-nya
(1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimah-nya,
serta dinyatakan sahih oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Haditsnya shahih.”
Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no.
3096, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2159,
Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih at-Targhib, 1/33/68)
Allah SWT pun
berfirman:
ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا
ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang
yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (QS. Fathir: 32)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, Allah SWT berfirman,
“Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab
(Al-Qur’an) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu
yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah
dari umat ini.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/577]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Ayat ini sebagai
syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi al-‘ulama
waratsatil anbiya (Ulama adalah pewaris para Nabi).” [Fathul Bari, 1/83]
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan bahwa maknanya adalah,
“Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari
hamba-hamba Kami yaitu al-Kitab (al-Qur’an). Kami telah tentukan dengan cara
mewariskan kitab ini kepada para Ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang
telah Kami turunkan kepadamu. Tidak ada keraguan bahwa Ulama umat ini adalah
para Sahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah SWT telah memuliakan
mereka atas seluruh hamba dan Allah SWT menjadikan mereka sebagai umat di
tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat
kemuliaan demikian karena mereka umat Nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.”
[Fathul Qadir, hlm. 1418]
Allah SWT juga
menegaskan dalam firman-NYA:
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan." (QS.
Al-Mujadilah: 11)
Lantas siapakah yang
layak dan pantas disebut dan menyandang gelar Ulama..?!
Pengertian
Ulama
Secara
harfiah menurut bahasa etimologi, kata Ulamāʾ (علماء) berasal dari
bahasa arab ( علم,
يعلم yang berarti mengetahui) perubahan kaidah tashrif
arab menjadi kata (عالِم Ālim) ismul faa'il (kata untuk menunjukkan si
pelaku yang berarti orang yang mengetahui). Kemudian dari kata tunggal (عالِم)
berubah menjadi kata jamak (العلماء) yang diartikan sebagai
orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
Terminologi Ulama
menurut Wikipedia, Ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas
untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah
agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun
sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau
peneliti, kemudian arti Ulama tersebut berubah ketika diserap ke dalam Bahasa
Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.
[https://id.wikipedia.org/wiki/Ulama]
Ulama Menurut istilah
adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai
Al-Qur’an dan Al-Hadits dan Menerapkan Al-Qur'an dan Al-Hadits dalam
kehidupannya. Ulama adalah orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an (baik
bacaannya maupun kandungannya) dan mengajarkannya.
Ulama adalah
orang-orang yang mendapat ilmu Rasulullah ﷺ dan setiap harinya disibukkan
dengan ilmunya seperti tabligh atau dakwah, mengajar dan mengarang kitab serta
menasehati penguasa. Dan masih banyak lagi yang lain namun pada dasarnya tetap
sama yaitu orang-orang yang bukan hanya sangat memahami ilmu agama Islam, namun
juga mengamalkan ilmunya.
Ulama adalah
orang-orang yang mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi setelah para Nabi dan
Rasul dan Ulama adalah pewaris para rasul. Pewarisan Ulama di sini bukan hanya
sekedar mengenai ilmu dan hal-hal luar biasa yang diberikan kepada mereka, akan
tetapi juga mencakup mengenai beban dan tugas mereka dalam meluruskan dan
membimbing masyarakat kepada jalan yang benar menurut Akidah dan Syariah Islam.
Allah SWT menegaskan
sosok Ulama yang sesungguhnya dalam firman-Nya:
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut
kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS. Fathir: 28)
Maka sebagai pelaku
dalam ayat ini adalah: Para Ulama adalah orang yang paling khawatir dan paling
takut kepada Allah. Lafdzul jalalah
(Allah) sebagai obyek yang didahulukan. Adapun faidah dan fungsi didahulukannya
peletakan obyek ini adalah: untuk pembatasan kerja subyek. Maksudnya yang takut
kepada Allah SWT tidak lain hanyalah para Ulama. Karena kalau subyeknya yang
didahulukan pastilah pengertiannya akan berbeda, dan menjadi "Sesungguhnya
para Ulama kepada Allah," Permaknaan seperti ini tidak dibenarkan, karena
artinya ada di antara para Ulama yang tidak takut kepada Allah.
Atas dasar inilah
Syaikhul Islam berkomentar tentang ayat ini: “Hal ini menunjukkan bahwa setiap
yang takut kepada Allah maka dialah orang yang Alim, dan ini adalah haq. Dan
bukan berarti setiap yang Alim akan takut kepada Allah”. [Dari kitab “Majmu Al Fatawa”, 7/539. Lihat “Tafsir Al Baidhawi”, 4/418, Fathul Qadir, 4/494]
Dari penjelasan di
atas maka ayat yang mulia ini memberikan faidah: "Sesungguhnya para Ulama
itu pemilik rasa takut kepada Allah, dan sesungguhnya siapa saja yang tidak
takut kepada Allah berarti dia bukanlah seorang alim".
Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang takut
kepada Allah dan benar-benar takut adalah para Ulama yang mereka paham betul
tentang hakikat Allah SWT, karena ketika pengetahuan kepada Yang Maha Agung dan
Maha Kuasa sudah sempurna dan bekal ilmu tentang-Nya sudah memadai maka
perasaan takut kepada-Nya akan semakin besar..”
Ali bin Abi Thalhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu
tentang firman Allah SWT:
إنما
يخشى الله من عباده العلماء
Dia berkata,
"Mereka yang takut kepada Allah adalah mereka yang mengetahui sesungguhnya
Allah Kuasa atas segala sesuatu." Said bin Jubair berkata, "Yang
dinamakan takut adalah yang menghalangi anda dengan perbuatan maksiat kepada
Allah Azza wa Jalla." Al-Hasan Al-Bashri berkata, "Orang Alim adalah
yang takut kepada yang Maha Pemurah terkait perkara yang Ghaib, menyukai apa
yang disukai oleh Allah, dan menjauhi apa-apa yang mendatangkan kemurkaan
Allah. Lalu beliau membaca Ayat:
إنما
يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور
“Sesungguhnya di
antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama,
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Dari Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dia berkata,
"Bukanlah yang dikatakan orang berilmu itu orang yang banyak hafal hadits,
akan tetapi yang dinamakan orang berilmu itu orang yang rasa takutnya amat
besar."
Sufyan Ats Tsauri
meriwayatkan dari Abu Hayyan At-Taimi dari seorang lelaki dia berkata,
"Seorang yang alim tentang Allah adalah orang yang Alim tentang perintah
Allah. Orang yang Alim tentang perintah Allah bukanlah orang yang alim tentang
Allah. Adapun orang yang Alim tentang Allah dan tentang perintah Allah, dialah
orang yang takut kepada Allah SWT dan mengetahui koridor agama serta hal-hal
yang difardhukan oleh agama. Adapun orang yang Alim tentang Allah bukanlah
orang yang Alim tentang perintah Allah, apabila dia takut kepada Allah SWT dan
tidak mengetahui ajaran agama serta hal-hal yang difardhukan oleh agama.
Begitupun orang yang Alim tentang perintah Allah bukanlah orang yang alim
tentang Allah, jika dia adalah orang yang mengetahui batasan-batasan dan
hal-hal yang difardhukan oleh agama akan tetapi sama sekali tidak takut kepada
Allah ‘Azza wa Jalla." [Dikutip dengan ringkas dari “Tafsir Ibnu Katsir, 4/729]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab “Majmu Al Fatawa”, 17/21, tentang firman Allah SWTً ( إنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ
مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء ). Maksud dari ayat tersebut
adalah tidak takut kepada Allah melainkan orang yang Alim. Allah telah
memberitakan sesungguhnya setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang
alim, sebagaimana Firman Allah dalam ayat yang lain:
أَمَّنْ
هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو
رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا
يَعْلَمُونَ (سورة الزمر: 9)
"Apakah kalian hai orang musyrik yang lebih beruntung)
ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?
katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?" (QS. Az-Zumar: 9)
As-Sa’di Rahimahullah berkata: “Setiap orang yang
pengetahuannya kepada Allah sangat mendalam, maka dialah orang yang banyak
takut kepada Allah. Maka rasa takutnya kepada Allah mewajibkan dia menghindari
perilaku maksiat dan selalu bersiap diri menjumpai yang ia takuti. Ini merupakan
bukti dari keutamaan ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu menuntun untuk takut
kepada Allah, dan orang yang biasa takut kepada Allah maka dia layak mendapat
karomah-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:
رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
"Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha
kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada
Tuhan-Nya." (QS. Al-Bayyinah: 8)
Kesimpulannya:
Sesungguhnya subyek dalam ayat tersebut adalah para Ulama. Pengertian ayatnya
adalah, "Sesungguhnya tidak ada yang takut kepada Allah SWT melainkan para
Ulama. Merekalah yang paling mengetahui kekuasaan-Nya dan kemampuan-Nya. Tidak
ada maksud dari ayat tersebut bahwa Allah SWT-lah yang takut kepada para Ulama
karena Allah lebih Agung, lebih Mulia dari yang demikian.
Ulama Benteng
Terakhir Islam dan Ujung Tombak Umat Islam
Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Perumpamaan para
ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang
menjadi penunjuk arah bagi manusia.” [Akhlaq
al-’Ulama, hal. 29, Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari
Al-Hasan]
Ulama juga adalah
laksana bulan purnama yang menerangi dunia tatkala kegelapan malam tiba. Ulama
adalah laksana perisai dan benteng yang kokoh.
Baiknya Ulama akan
membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Sedangkan, rusaknya Ulama akan
membawa kerusakan bagi seluruh umat manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلاَ
إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ وَإِنَّ خَيْرَ الْخَيْرِ خِيَارُ
الْعُلَمَاءِ
"Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan
Ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan Ulama." (HR.
ad-Darimi)
Imam al-Ghazali,
menjelaskan:
ففساد
الرعايا بفساد الملوك، و فساد الملوك بفساد العلماء، و فساد العلماء باستلاء حب
المال والجاه، ومن استولى عليه حب الدنيا لم يقدر على الحسبة على اﻷراذل، فكيف علي
الملوك واﻷكابر؟ والله المستعان علي كل حال.
"Setelah menulis
keberanian para ulama salaful ummah tentang banyak dari mereka yang sangat
berani berhisbah yaitu beramar makruf nahi munkar bahkan terhadap para penguasa
yang dzalim hingga siap syahid dibunuh para penguasa karena mengamalkan hadits.
أفضل
الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat
kebenaran di depan penguasa rusak yang menyimpang”.
Maka terakhir Imam
Ghazali memberikan penutup: “Bahwasanya rusaknya rakyat (masyarakat umum)
disebabkan karena rusaknya para penguasa, sedangkan rusaknya para penguasa
disebabkan karena rusaknya para Ulama. Para Ulama rusak karena terperdaya
kecintaan harta dan wibawa (tahta)".
Imam Al Ghazali
melanjutkan bahwa “Barangsiapa yang terperdaya kecintaan terhadap dunia, maka
dia tidak akan mampu dan kuasa berhisbah melakukan amar makruf nahi munkar
terhadap perkara yang remeh, kecil dan sepele. Bagaimana mungkin dia akan mampu
berhisbah amar makruf nahi munkar terhadap para penguasa dan perkara-perkara
yang besar?" [Akhir Kitab Hisbah Amar Makruf Nahi Munkar dari Kitab Ihya Ulumuddin Juz II Hal. 385]
Rasulullah ﷺ
mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul
‘Ash, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ
اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِوَلَكِنْ
يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِعَالِمًا
اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَعِلْمٍ
فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah
SWT tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia
mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak
menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar
ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari no. 100 dan Muslim no.
2673)
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan bahwa asy-Sya’bi
berkata, “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk
kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari
terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua
urusan.”
Di dalam Shahih al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin
‘Amr radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’
(riwayatnya sampai kepada Rasulullah ﷺ): “Sesungguhnya
termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para Ulama dan
diangkatnya orang jahat.” [Jami’ul Ulum
wal Hikam, hlm. 60]
Wafatnya seorang yang
alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan
Ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan berkah dari Allah
SWT. Lebih-lebih Rasulullah ﷺ mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya:
مَفَاتِيحُ
لِلْخَيرِ مَغَالِيقُ لِلشَّرِّ
“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan
sebagai penutup segala bentuk kejahatan.” (Hadits Hasan, Shahihul Jami',
4108)
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama
‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ
بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا
الْعِلْمُ.
"Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada
beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan." (HR.
Bukhari)
Dalam riwayat Muslim
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:
يَتَقَارَبُ
الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ
وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ.
"Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai
fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan
semakin banyak." (HR. Muslim)
Ini menegaskan
bahwasanya Ulama adalah simbol sekaligus representasi Islam dan umat Islam.
Karena itulah, Ulama menjadi benteng terakhir Islam dan Umat Islam. Jika Ulama
dirusak maka terusakkanlah Islam dan umat Islam pun akan menjadi rusak, maka
rusaklah pula seluruh umat manusia. Di sinilah urgensi Ulama sebagai benteng
terakhir Islam sekaligus menjadi ujung tombak umat Islam.
Karena itulah sejak
dulu, Ulama memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai peristiwa sejarah
penting, terutama sejarah perubahan masyarakat (social
engineering). Bahkan nyaris tidak ada satu pun perubahan masyarakat di
dunia ini yang tidak melibatkan peran Ulama. Mereka jugalah orang pertama yang
menyebarkan kesadaran ini di tengah-tengah masyarakat hingga masyarakat
memiliki kesadaran kolektif untuk melakukan perubahan. Jika kesadaran terhadap
kerusakan masyarakat belum tumbuh di tengah-tengah masyarakat, niscaya tidak
akan tumbuh pula keinginan untuk berubah, apalagi upaya untuk melakukan
perubahan. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa Ulama merupakan sumber dan
inspirasi perubahan.
Sayang, seiring dengan
kemunduran taraf berpikir umat Islam, yang diimbuhi dengan proses sekularisasi
di Dunia Islam, umat Islam mulai kesulitan menemukan sosok Ulama yang mampu
menggerakkan perubahan, seperti yang pernah dilakukan Nabi ﷺ. Yang kita dapati
adalah Ulama yang fakih dalam masalah agama, tetapi tidak memiliki visi politik
(tidak kaffah) dan bukan negarawan yang handal serta bukan politisi ulung.
Akhirnya, mereka mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam. Ada pula Ulama yang
memisahkan diri dari kekuasaan dan politik, dengan alasan, politik itu kotor
dan najis.
Serta ada pula Ulama
yang tidak memahami fakta (realitas) dan buta politik akhirnya diperalat oleh
partai politik sekuler dan penguasa tiran serta para penjajah kafir asing dan
aseng hingga terjebak dalam kubangan lumpur hitam berhala demokrasi sehingga hanya
menjadi stempel dan corong penguasa boneka dan para penjajah kafir kapitalis
asing dan aseng tersebut.
Akibatnya, mereka
tidak mampu memberikan konstribusi bagi perubahan masyarakat dan negaranya.
Mereka asyik dengan ibadah-ibadah ritual belaka yang sejatinya justru
memberangus predikatnya sebagai Pewaris Nabi. Ada pula Ulama yang, sadar atau
tidak, terkooptasi oleh sistem kufur dan pemerintah kufur serta para kafir
penjajah beserta antek-anteknya. Mereka rela menjual ilmu dan agamanya untuk
kepentingan dunia semata. Jahatnya lagi, mereka bahkan rela menyerahkan
saudara-saudara Muslimnya untuk memenuhi keinginan kaum kafir. Ada pula yang
bertingkah bak seorang artis yang hanya mengejar popularitas belaka. Lantas,
apa fungsi dan peran Ulama sesungguhnya..?!
Peran dan
Fungsi Para Ulama
Peran dan fungsi
strategis Ulama dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama:
Pewaris para Nabi. Tentu, yang dimaksud dengan Pewaris Nabi adalah pemelihara
dan penjaga warisan para Nabi, yakni wahyu atau risalah, dalam konteks ini
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Islam itu sendiri. Dengan kata lain, peran
utama Ulama sebagai Pewaris para Nabi adalah penjaga agama Allah SWT dari
kebengkokan dan penyimpangan. Hanya saja, peran Ulama bukan hanya sekadar
menguasai khazanah pemikiran Islam, baik yang menyangkut masalah Akidah maupun
Syariah dan Akhlaq, tetapi juga bersama umat berupaya menerapkan,
memperjuangkan, serta menyebarkan risalah Allah di muka bumi.
Dalam konteks saat
ini, Ulama bukanlah orang yang sekadar memahami dalil-dalil Akidah dan Syariah,
kaidah istinbâth (pengalian hukum), dan ilmu-ilmu alat lainnya. Akan tetapi, ia
juga terlibat dalam perjuangan untuk mengubah realitas rusak yang bertentangan
dengan warisan Nabi ﷺ menjadi realitas Islami yang haq di atas jalan Nabi.
Kedua:
Pembimbing, pembina dan penjaga umat. Pada dasarnya, Ulama bertugas membimbing
umat agar selalu berjalan di atas jalan lurus. Ulama juga bertugas menjaga
mereka dari tindak kejahatan, pembodohan, dan penyesatan yang dilakukan oleh
kaum kafir dan munafik serta antek-anteknya; melalui gagasan, keyakinan, dan
sistem hukum yang bertentangan dengan Islam.
Semua tugas ini
mengharuskan Ulama untuk selalu menjaga kesucian pemikiran Islam dalam benaknya
sekaligus menjaga kesucian agamanya dari semua kotoran. Ulama juga harus mampu menjelaskan kerusakan dan
kebatilan semua pemikiran dan sistem kufur kepada umat Islam. Ia juga
harus bisa mengungkap tendensi-tendensi jahat di balik semua sepak terjang kaum
kafir dan munafik beserta antek-anteknya. Ini ditujukan agar umat terjauhkan
dari kejahatan musuh-musuh Islam.
Ketiga:
Pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika Ulama mampu
memahami konstelasi politik global dan regional. Ia juga mampu terdepan dalam
mengontrol dan mengoreksi penguasa, dan ia pun mampu pula memimpin perlawanan
terhadap segala bentuk penjajahan, menyingkap makar jahat dan permusuhan kaum
kafir dalam memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain, seorang
Ulama harus memiliki visi politis-ideologis yang kuat, hingga fatwa-fatwa yang
ia keluarkan tidak hanya beranjak dari tinjauan normatif belaka, tetapi juga
bertumpu pada konteks ideologis-politis.
Dengan demikian,
fatwa-fatwanya mampu menjaga umat Islam dari kebinasaan dan kehancuran
sekaligus membangkitkan umat Islam dengan kebangkitan hakiki, bukan malah
menjadi sebab malapetaka dan kehancuran bagi umat Islam. Misalnya, fatwa yang
dikeluarkan oleh Syaikhul Islam mengenai bolehnya kaum Muslim mengadopsi sistem
pemerintahan demokrasi dan perundang-undangan Barat pada akhir Kekhilafahan
Islam. Fatwa ini tidak hanya keliru, tetapi juga menjadi penyebab kehancuran
Khilafah Islamiyah. Fatwa ini muncul karena lemahnya visi politis-ideologis
Ulama pada saat itu.
Keempat:
Sumber ilmu. Ulama adalah orang yang faqih
fiddiin dalam masalah halal-haram dan dalam seluruh perkara kehidupan.
Ia adalah rujukan dan tempat menimba ilmu sekaligus guru yang bertugas membina
umat agar selalu berjalan di atas tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam konteks ini, peran sentralnya adalah mendidik dan membina umat dengan
Akidah dan Syariah Islam. Dengan begitu, umat memiliki kepribadian Islam yang
kuat; mereka juga berani mengoreksi penyimpangan masyarakat dan penguasa.
Kelima:
Ulama sebagai pemimpin umat yang terdepan dalam memobilisasi dan menggerakkan
umat dan seluruh elemen umat Islam untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan
menerapkan Syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan dan
menyebarluaskan risalah Islam ke segala penjuru dunia dengan dakwah dan jihad
melalui penegakkan kembali Daulah Khilafah Rasyidah Islamiyah yang dilakukan
oleh para Ulama Pewaris Nabi tersebut bersama umat dan seluruh elemen umat
Islam apapun madzhab dan harakah
dakwahnya. Karena Khilafah Islam adalah benteng utama Islam sekaligus milik
seluruh Umat dan kewajiban bagi seluruh Umat Islam termasuk kewajiban bagi para
Ulama.
Inilah peran dan
fungsi sentral Ulama sebagai benteng terakhir Islam dan ujung tombak umat Islam
di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja, sekularisasi dan demokratisasi telah
memberangus fungsi dan peran Ulama di atas, sekaligus meminggirkan mereka dari urusan
negara dan masyarakat.
Apatah lagi pasca Aksi
Damai Bela Islam Jilid II 411 dan Aksi Super Damai Bela Islam Jilid III 212
pada tahun 2016 yang sukses dipimpin dan dimobilisasi para Ulama sebagai respon
penistaan terhadap Islam, Al-Qur’an, Ulama dan Umat Islam yang telah dilakukan
oleh Basuki Tcahya Purnama alias Ahok. Di mana Aksi 411 dan 212 serta berlanjut
aksi-aksi besar lainnya sepanjang tahun 2017 yang lalu hingga tahun 2018 yang lalu mulai aksi sejuta umat tolak
Perppu Ormas hingga Aksi Bela Islam 212 Jilid 2 tahun 2017 yang lalu.
Hingga terjadi pula
Aksi Bela Tauhid 211 dan Reuni 212 jilid 3 yang dihadiri sekitar 13 juta lebih
umat Islam hingga berkibarlah jutaan bendera tauhid al-Liwa dan ar-Royah di
Monas Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2018 yang lalu atas respon pembakaran bendera
tauhid oleh Banser NU.
Juga digelarnya
Ijtima' Ulama Jilid 4 pada 5 Agustus 2019 yang lalu telah menegaskan kewajiban
menerapakan Syariah dan menegakkan kembali Khilafah serta amar ma'ruf wa nahi munkar merupakan kewajiban
agama Islam, dan lain-lain.
Itu semua semakin
meneguhkan dan menjadi sinyal yang sangat kuat bahwa sedang terjadi kebangkitan
Islam dan umat Islam sekaligus menjadi sinyal sangat kuat kebangkitan Ulama
Pewaris Nabi dan Persatuan Umat Islam yang bakal berpotensi bangkit kembali
menjelma menjadi raksasa adidaya super power
Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah. Tentunya ini, membuat penjajah kafir
kapitalis baik asing maupun aseng beserta rezim bonekanya sangat ketakutan
hingga mereka pun menjadi Islamphobia dan super
paranoid dengan Islam.
Sehingga demi
melanggengkan gurita penjajahan hegemoni kapitalisme global mereka, penjajah
kafir kapitalis asing dan aseng tersebut pun melalui rezim bonekanya membuat
banyak skenario jahat dengan menghalalkan segala cara untuk mematikan
kebangkitan Islam dengan menjadikan hukum tumpul ke kafir dan hanya tajam ke
bawah melalui sejumlah UU, adu domba umat, adu domba Ulama dan kriminalisasi
Islam khususnya ajaran Islam tentang dakwah, jihad, Syariah dan Khilafah,
persekusi dan kriminalisasi umat Islam dan khususnya persekusi dan
kriminalisasi Ulama, Aktivis Dakwah dan Ormas Islam serta pencabutan Badan
Hukum HTI tanpa proses Pengadilan dan upaya membubarkan FPI.
Penjajah kafir
kapitalis asing dan aseng beserta rezim bonekanya sangat mengetahui dan
memahami dengan benar bahwa penghalang utama mereka untuk menguasai sepenuhnya
negeri zamrud khatulistiwa yang kaya raya dengan sumberdaya alamnya ini adalah
Islam, umat Islam dan khususnya Ulama sebagai benteng terakhir Islam dan ujung
tombak umat Islam.
Karena itulah, mereka
berupaya keras untuk melemahkan dan menghancurkan Islam dan umat Islam selain
melalui adu domba umat, persekusi dan
kriminalisasi Ulama serta pembunuhan karakter Ulama, mereka pun membuat
sebuah skenario jahat secara sistematis untuk membungkam Ulama melalui
sertifikasi penceramah atau sertifikasi Ulama yang dilakukan secara paksa oleh
rezim boneka ini demi mengamankan kepentingan tuan besarnya tersebut dalam
melanggengkan gurita penjajahan kapitalisme global mereka di negeri ini.
Menghancurkan Ulama
sebagai benteng terakhir Islam dan ujung tombak umat Islam sama saja
menghancurkan Islam dan umat Islam.
Memusuhi Ulama sama
saja memusuhi Allah SWT Sang Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan.
Siapapun yang memusuhi bahkan mempersekusi dan mengkriminalisasi Ulama dan
membunuh karakter Ulama, maka dia benar-benar telah menjadi musuhnya Allah.
Kecelakaan besarlah
bagi mereka khususnya penjajah kafir kapitalis asing dan aseng beserta rezim
bonekanya yang telah menjadi musuh Allah akibat memusuhi Ulama Pewaris Nabi dan
agama-Nya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda:
إنَّ
اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ ، وما تقرَّب إليَّ عبدي بشيءٍ
أحبَّ إليَّ ممَّا افترضتُ عليه ، وما يزالُ عبدي يتقرَّبُ إليَّ بالنَّوافلِ
حتَّى أُحبَّه ، فإذا أحببتُه : كنتُ سمعَه الَّذي يسمَعُ به ، وبصرَه الَّذي
يُبصِرُ به ، ويدَه الَّتي يبطِشُ بها ، ورِجلَه الَّتي يمشي بها ، وإن سألني
لأُعطينَّه ، ولئن استعاذني لأُعيذنَّه ، وما تردَّدتُ عن شيءٍ أنا فاعلُه
ترَدُّدي عن نفسِ المؤمنِ ، يكرهُ الموتَ وأنا أكرهُ مُساءتَه
“Sesungguhnya Allah
berfirman: 'Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah
mengumumkan peperangan kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku
dengan suatu (amal shalih) yang lebih Aku cintai daripada amal-amal yang Aku
wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri
kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga
Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku
akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam
penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam
langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya,
dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan
kepadanya. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti aku lakukan seperti
keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman (kepada-Ku), dia tidak
menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya” (HR. al-Bukhari 5/2384, no.
6137).
Sungguh Allah SWT Maha
Perkasa dan amatlah keras adzab dan siksa-Nya. Allah SWT berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ
حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ
فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {21} أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَمَالَهُم مِّن نَّاصِرِينَ {22}
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi dengan
tanpa alasan yang benar dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat
adil, maka berilah mereka kabar gembira, bahwa mereka akan menerima siksa yang
pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia
dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong.” (QS. Ali Imran
[3]: 21-22)
Dan juga Allah SWT
berfirman:
هُوَ
الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى
الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala
agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS. Ash-Shaff
[6]: 9)
Maha benar Allah
dengan segala firman-Nya. Oleh karena itu, wahai para Ulama pewaris para Nabi
dan benteng terakhir Islam yang dirahmati Allah di manapun kalian berada dan
apapun harakah dakwah kalian serta
apapun mazhab kalian, sudah tiba saatnyalah kalian bangkit dari tidur panjang
kalian dan bersegeralah kalian bersatu dengan istiqamah dalam barisan dakwah
berjama'ah mengikuti manhaj/ thariqah
dakwah Rasulullah ﷺ dan bergerak memimpin, memobilisasi serta menggerakkan
seluruh umat Islam bersama militer untuk segera meruntuhkan kedigdayaan
peradaban sampah kapitalisme global tersebut dengan segera mencampakkan
demokrasi dengan hanya menumbangkan rezim demokrasi dan sistem kufur penjajah
demokrasi kapitalisme sekulerisme yang menjadi biang penjajahan dan biang
kerusakan serta biang malapetaka bagi dunia dan negeri ini.
Dengan manhaj/ thariqah dakwah Rasulullah ﷺ tersebut
bersegeralah pula kalian bersatu dan bergerak memimpin dan memobilisasi umat
beserta militer untuk segera menegakkan kembali Khilafah Rasyidah Islamiyah
-sang pelaksana Syariah secara kaffah dan pemersatu umat- sebagai tuntutan
akidah tauhid Islam sekaligus solusi real
dalam menyelamatkan Indonesia dan dunia dari kehancurannya serta demi
meninggikan kalimat Allah dan demi izzul Islam
wal Muslimin serta demi meraih ridha, rahmah dan berkah di dunia dan di
akhirat dari Allah SWT Sang Maha Penguasa Serba Maha lagi Maha Pencipta Alam
Semesta, manusia dan kehidupan yang nyawa kita dalam genggaman-Nya.
Yakinlah sesungguhnya
Allah bersama kita dan kemenangan Islam sudah di depan mata kita. Allah SWT
berfirman:
...لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“...Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama
kita.” (QS. At-Taubah: 40)
قَالَ
لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَىٰ
“Allah berfirman, ‘Janganlah kalian berdua takut,
sesungguhnya Aku bersama kalian, Aku mendengar dan melihat.” (QS.
Thahaa: 46)
اَمۡ حَسِبۡتُمۡ اَنۡ تَدۡخُلُوا الۡجَنَّۃَ وَ لَمَّا
یَاۡتِکُمۡ مَّثَلُ الَّذِیۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلِکُمۡ ؕ مَسَّتۡہُمُ
الۡبَاۡسَآءُ وَالضَّرَّآءُ وَ
زُلۡزِلُوۡا حَتّٰی یَقُوۡلَ الرَّسُوۡلُ وَالَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَہٗ مَتٰی
نَصۡرُ اللّٰہِ ؕ اَلَاۤ اِنَّ نَصۡرَ اللّٰہِ قَرِیۡبٌ
"Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (cobaan)
sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: 'Bilakah datang
pertolongan Allah?' Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS.
Al-Baqarah: 214)
وَمَا جَعَلَہُ اللّٰہُ
اِلَّا بُشۡرٰی وَلِتَطۡمَئِنَّ بِہٖ قُلُوۡبُکُمۡ ۚ وَمَا النَّصۡرُ اِلَّا مِنۡ
عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ حَکِیۡمٌ
”Dan tidaklah Allah menjadikannya (mengirim
pertolongan) melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tentram, dan
kemenangan (pertolongan) itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh Allah maha
perkasa, maha bijaksana.” (QS. Al-Anfal: 10)
اِنۡ یَّنۡصُرۡکُمُ اللّٰہُ
فَلَا غَالِبَ لَکُمۡ ۚ وَ اِنۡ یَّخۡذُلۡکُمۡ فَمَنۡ ذَاالَّذِیۡ یَنۡصُرُکُمۡ
مِّنۡۢ بَعۡدِہٖ ؕ وَعَلَی اللّٰہِ فَلۡیَتَوَکَّلِ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ
"Jika Allah
menolong kamu maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu, jika Allah membiarkan
kamu (tidak memberi pertolongan) maka siapakah yang dapat menolong kamu (selain
dari Allah) setelah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang mukmin
bertawakkal.” (QS. Ali Imran: 160)
Wallahu a'lam bish shawab. []
#IjtimaUlama
#IkutUlama
#UlamaBelaHTI
#KhilafahWajib
#KhilafahAjaranIslam
#KhilafahAdalahSolusi
#ReturnTheKhilafah